Sabtu, 25 Agustus 2012

Tasawuf

Imam Abu Hanifa (81-150 H./700-767 CE)
Imam Abu Hanifa (r) (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”. Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn ‘Abideen said, “Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta’i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi.” Imam berkata sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu’man, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man (saya) telah celaka.” Itulah dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq.
Imam Malik (94-179 H./716-795 CE)
Imam Malik (r): “man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195
Imam Shafi’i (150-205 H./767-820 CE)
Imam Shafi’i :  ”Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara.
2. Mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut.
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni, vol. 1, p. 341.]
Dalam Diwan (puisi) Imam Syafii, nomor 108 :
“Jadilah ahli fiqih dan sufi Jangan menjadi salah satunya Demi Allah Aku menasehatimu”.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 CE)
Imam Ahmad (r) : “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati ha’ula’i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi) Imam Ahmad (r) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p. 120)
Imam Haris Al-Muhasibi (d. 243 H./857 CE)
Imam Haris Al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa itu adalah Golongan orang tasawuf. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al-Wasiya p. 27-32.
Imam al-Qushayri (d. 465 H./1072 CE)
Imam al-Qushayri tentang Tasauf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali-Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]
Imam Ghazali (450-505 H./1058-1111 CE)
Imam Ghazali, hujjatul-Islam, tentang tasawuf : “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].
Imam Nawawi (620-676 H./1223-1278 CE)
Dalam suratnya al-Maqasid :  “Ciri jalan sufi ada 5 :  menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada orang lain bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20]
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 CE)
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi :  “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku” .” [Ictiqadat Furaq al-Musliman, p. 72, 73]
Ibn Khaldun (733-808 H./1332-1406 CE)
Ibn Khaldun :  “Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi’een, and Tabi’ at-Tabi’een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia” [Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]
Tajuddin as-Subki
Mu’eed an-Na’eem, p. 190, dalam tasauf: “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah” Dia berkata: “Mereka dalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia.
Jalaluddin as-Suyuti
Dalam Ta’yad al-haqiqat al-’Aliyya, p. 57: “tasauf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”
Ibn Taimiya (661-728 H./1263-1328 CE)
Majmu Fatawa Ibn Taymiyya, Dar ar-Rahmat, Cairo, Vol, 11, page 497, Kitab Tasawwuf: “Kamu harus tahu bahwa syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai petunjuk dan contoh dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadiran Allah dan ketaatan kepada Nabi.” Juga dalam hal 499: “Para syaikh dimana kita perlu mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam Haji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita. Di antara para syaikh yang dia sebut adalah: Ibrahim ibn Adham, Macruf al-Karkhi, Hasan al-Basri, Rabia al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad, Shaikh Abdul Qadir Jilani, Shaikh Ahmad ar-Rafa’i, and Shaikh Bayazid al- Bistami. Ibn Taymiyya mengutip Bayazid al-Bistami pada 510, Volume 10: “…Syaikh besar, Bayazid al-Bistami, dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan dalam kasyf dan dia berkata kepada Dia:” Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?”. Dan Allah menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku”. Ibn Taymiah melanjutakan kutipan Bayazid al-Bistami, ” Saya keluar dari diriku seperti seekor ular keluar dari kulitnya”. Implisit dari kutipan ini adalah sebuah indikasi tentang perlunya zuhd (pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap kehidupan dunia), seperti jalan yang diikuti Bayazid al-Bistami. Kita melihat dari kutipan di atas bahwa Ibn Taymiah menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan meminta orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan cara menaati Allah dan Rasul Saw.
Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah tasawuf
Berikut adalah pendapat Ibn Taimiah tentang definisi Tasauf dari strained, Whether you are gold or gold-plated copper.” Sanai. Following is what Ibn Taymiyya said about the definition of Tasawwuf, from Volume 11, At-Tasawwuf, of Majmu’a Fatawa Ibn Taymiyya al-Kubra, Dar ar-Rahmah, Cairo: “Alhamdulillah, penggunaan kata tasauf telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan).” “Tasauf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasauf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran. Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin, sebagaimana disebutkan Allah: “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)” Dia melanjutkan mengenai Sufi,”mereka berusaha untuk menaati Allah.. Sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan (ashabus-syimal).”
Imam Ibn Qayyim (d. 751 H./1350 CE)
Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa, “Kita menyasikan kebesaran orang-orang tasawuf dalam pandangan salaf bagaimana yang telah disebut oleh Sufyan ath-Tsawri (d. 161 H./777 CE). Salah satu imam terbesar abad kedua dan salah satu mujtahid terkemuka, dia berkata: “Jika tidak karena Abu Hisham as-Sufi (d. 115 H./733 CE) saya tidak pernah mengenal bentuk munafik yang kecil (riya’) dalam diri (Manazil as-Sa’ireen) Lanjut Ibn Qayyim:”Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh” ‘
Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab (1115-1201 H./1703-1787 CE)
Dari Mu ammad Man ar Nu’mani’s book (p. 85), Ad- ia’at al-Mukaththafa Didd ash-Shaikh Mu ammad ibn c’Abdul Wahhab: “Shaikh ‘Abdullah, anak shaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab, mengatakan mengenai Tasawwuf: ‘Anakku dan saya tidak pernah menolak atau mengkritik ilmu tasauf, tetapi sebaliknya kami mendukungnya karena ia menyucikan baik lahir maupun batin dari dosa tersembunyi yang berhubungan dengan hati dan bentuk batin. Meskipun seseorang mungkin secara lahir benar, secara batin mungkin salah; dan untuk memperbaikinya tasauf diperlukan.” Dalam volume 5 dari Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab entitled ar-Rasa’il ash-Shakhsiyya, hal 11, serta hal. 12, 61, and 64 dia menyatakan: “Saya tidak pernah menuduh kafir Ibn ‘Arabi atau Ibn al-Farid karena interpretasi sufinya”
Ibn ‘Abidin
Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn Abidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].
Shaikh Rashid Rida
Dia berkata,”tasawuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi” [Majallat al-Manar, 1st year, p. 726].
Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi
Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, “Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma’siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah” “Di Calcutta, India, lebih dari 1000 orang mengambil inisiasi (baiat) ke dalam Tasauf” “Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuham merka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”
Abul ‘Ala Mawdudi
Dalam Mabadi’ al-Islam (p. 17), “Tasauf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul” “Tasauf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.” Ringkasnya, tasauf, dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu manusia dapat menemukan diri sendir dan, dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya.


http://ahmadfaruq.blogdetik.com

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Istilah ini pertama kali muncul berdasarkan hadis Nabi tentang Iftiraq (perpecahan umat) :
“umatku ini akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya akan masuk neraka kecuali satu saja. Para sahabat bertanya : “Siapa mereka itu wahai Rasulullah ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Mereka itu yang mengikuti sunnahku dan jamaah para sahabatku pada hari ini” [HR Tirmidzi dan Ath-Thabrani]
Ahlus Sunnah = mengikuti sunnah Nabi
Wal Jama’ah = dan jama’ah para sahabat, serta selalu bersatu dalam jama’ah kaum muslimin.
Bani Umayah pernah mengklaim sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah untuk propaganda kekuasaannya, karena kenyataannya mayoritas kaum muslimin bersatu dibawah kepemimpinan khalifah dari kalangan mereka. Propaganda itu untuk menyudutkan kelompok-kelompok yang menentang dan memberontak terhadap Khalifah, yaitu kelompok Syiah dan Khawarij.
Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah kemudian dipopulerkan oleh Imam Abu Hasan Asy’ari (260 H - 326 H) untuk memberi identitas kepada para pengikut theologi Asy’ariyah. Istilah itu untuk membedakan dengan kelompok Mu’tazilah dan berbagai aliran theologi sesat lainnya : Jabariyah, Qadariyah, Jahmiyah, Musyabibah, Mujasimah, Mu’atilah.
Pada perkembangan selanjutnya, Ahlus Sunnah Wal Jamah dikodifikasikan dengan lebih jelas oleh Imam Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi (wafat 429 H) dalam bukunya Al Farq Bain Al Firaq (perbedaan diantara aliran-aliran), beliau merumuskan ada delapan kelompok yang termasuk golongan Ahlus Sunnah Waljamaah yaitu:
1. Mutakallimin (ulama kalam/theologi) yaitu orang yang memahami secara pas masalah-masalah keesaan Tuhan, kenabian, hukum- hukum, janji dan ancaman, pahala dan ganjaran, syarat ijtihad, Imamah, dan pimpinan ummat, dengan mengikuti metodologi aliran as-Shifatiah (menetapkan sifat-sifat Tuhan) yang tidak terseret ke dalam faham antropomorfis (tasybih) dan ta’thil (meniaakan sifat2 Allah) serta bid’ah kaum Syi’ah, Khawarij dan sederet golongan bid’ah lainnya.
2. Fuqaha (ulama fiqih) yaitu para Imam Mazhab Fiqh, baik dari ahlur ra’yi maupun ahlul Hadits, yang menganut aliran al-Shifatiah (menerima sifat2 Allah) dalam masalah teologi menyangkut Tuhan dan sifat-sifat yang azali, membersihkan diri dari faham Qadariah dan Mu’tazilah. Menetapkan adanya ru’yah (melihat Tuhan di hari kemudian), kebangkitan, pertanyaan kubur, telaga, jembatan, syafa’at dan pengampunan dosa selain syirik serta menetapkan kekekalan nikmat bagi ahli sorga dan kekelan siksa terhadap orang-orang kafir dalam neraka. Disamping itu, ia mengakui kekhalifaan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, dan tetap menghormati Salaf, menetapkan wajibnya shalat Jum’at di belakang para Imam yang tidak terkena bid’ah dan wajibnya menetapkan hukum dari Qur’an, hadits dan Ijma’. Dan mengatakan sahnya menyapu dua khuf (sejenis sepatu), jatuhnya
thalaq tiga, mengharamkan mut=92ah, dan memandang wajib mentaati seorang pemimpin selama bukan maksiat.
3. Muhaditsin (ulama hadis) yaitu mereka yang ahli dalam melacak jalur-jalur Hadits dan Atsar dari Nabi, mampu membedakan antara yang shahih dan tidak, menguasai al-Jahr wat-Ta’dil (sebab-sebab kebaikan dan kelemahan seorang perawi Hadits) dan tidak terlibat dalam perilaku bid’ah yang sesat.
4. Ahlul Lughot (ulama bahasa Arab) yaitu mereka yang ahli di bidang kesusasteraan, Nahwu Sharaf, dan mengikuti jejak pakar bahasa semisal al-Khalil, Abu Amr bin Al ‘Ala, Sibawaihi, al-Farra’, al-Akhfasy, al-Ashma’i, al-Muzany, Abu Ubaid dan sederet tokoh-tokoh lainnya dari Kufah dan Bashrah, yang tidak tercampur ilmunya dengan bid’ah kaum Qadariah atau Rafidah atau Khawarij.
5. Mufassirin (ulama tafsir) yaitu mereka yang mengetahui aneka ragam qira’at Qur’an dan orientasi penafsirannya dan pena’wilannya sesuai dengan aliran Ahlussunnah waljama’ah tanpa terpengaruh kepada pena’wilan para pengikut hawa nafsu yang sesat.
6. Mutasawwifin (ulama tasawuf) yaitu para Zuhad Sufi yang giat beramal dengan tulus ikhlas dan menyadari sepenuhnya bahwasanya baik pendengaran, penglihatan dan hati semuanya dipertanggungjawabkan di depan sang Khaliq yang takkan bisa lalai sebiji atom pun dari pandangannya. Olehnya itu, mereka giat beramal tanpa banyak bicara, konsisten dalam ketauhidan, menafikan tasybih serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
7. Mujahidin yaitu mereka yang bertempat di pos-pos pertahanan kaum Muslimin untuk menjaga kemanan negara dari serangan musuh, menjaga kehormatan ummat Islam baik materil maupun moril dengan berupaya menumbuhkan di pos-pos pertahanan mereka aliran Ahlussunnah waljama’ah.
8. Semua orang di semua negara yang di dalamnya dikuasai oleh syi’ar Ahlussunnah waljama’ah dan yang mengikuti ketujuh kelompok diatas.
Selanjutnya Imam Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi (wafat 429 H) dalam bukunya yang sama Al Farq Bain Al Firaq pada bab lima merumuskan 15 arkanul din (rukun/ pokok agama) bagi Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yaitu dasar-dasar atau ushulnya ialah:
1. Rukun Yang Pertama,
Yang disepakati dikalangan mereka rukun pertamanya mengithbatkan hakikat-hakikat dan ilmu-ilmu yang mereka ijma’kan tetapnya ilmu-ilmu itu dengan makna-makna yang ada pada para ulama dan dianggap sesat mereka yang menafikan ilmu dan lain-lain sifat (a’rad) seperti yang berlaku pada golongan “Sophists” (ini boleh terkena pada pemikiran pascamodernisme) yang menafikan ilmu dan hakikat-hakikat benda-benda yang ada. Demikian pula sesatnya mereka yang menganggap semua pegangan dan kepercayaan sebagai sah walau pun yang saling berlawanan dan bercanggahan.
Ulama ahli Sunnah membahagikan ilmu manusia kepada yang bersifat badihiah, yang hissi, dan istidlali - mereka yang menafikan ilmu yang bersifat badihi dan hissi - melalui pengamatan pancaindera - sebagai golongan degil.
Mereka yang menafikan ilmu dari tilikan akal (al-nazar) dan istidlali (dengan mengambil dalil pemikiran) , kalau ianya seperti golongan Sumniyah yang mengingkari penilikan akal dalam ilmu akliah ia kafir mulhid, seperti golongan dahriah atau materialist, yang berpegang kepada sediakalanya alam, penafian adanya Tuhan Pencipta alam, berserta dengan fahaman membatalkan semua agama-agama (dan ini juga menyentuh pemikiran pascamodernisme sekarang).
Kalau orang demikian berpegang kepada tilikan akal dalam ilmu akliah dan menolak kias dalam cawangan hukum Syara’ seperti mazhab Zahiriah, itu tidak membawa kepada kekufuran.
Ahlis-Sunnah mengajarkan pancaindera yang mengesani perkara-perkara zahir yang boleh dikesani olehnya (al-mahsusat) ialah pemandangan mata bagi mengesani apa yang boleh dilihat, perasa yang mengesani seperti rasa makanan, penciuman bagi mengesani bau, sentuhan bagi mengesani panas dan sejuk, basah dan kering, sifat lembut dan kasar.
Ahlis-Sunnah mengajarkan apa-apa yang dicapai melalui pancaindera ini berupa sebagai makna-makna (al-ma’ani) yang berdiri dengan alat-alat pancaindera itu. (Ilmu yang berpunca daripada pengesanan melalui pancaindera dan tilikan akal boleh diperpanjangkan dengan perlaksanaan kaedah saintifik, penyelidikan, dan pemikiran serta rumusan ilmu pengetahuan dan alat-alat kelengkapan yang diperlukan zaman sekarang sampailah kepada ICT dan seterusnya).
Mereka mengajarkan bahawa khabar berita yang mutawatir - yang sampai melalui punca yang terlalu banyak yang tidak memungkinkan salahnya - adalah jalan ilmu yang daruri - tidak boleh tidak - yang sah bila cukup syarat-syaratnya pada mereka. Termasuk ke dalam contoh ini ialah pengetahun kita tentang para nabi dan raja-raja sebelum kita dalam sejarah. Adapun sahnya penegasan tentang pangkat kenabian para anbiya itu maka itu sah melalui hujah-hujah nazariah atau tilikan akal. Maka dikirakan kafir mereka yang mengingkari ilmu dari kaedah atau jalan riwayat mutawatir.
Mereka memperincikan ciri-ciri riwayat yang mutawatir, yang mustafid, dan yang bersifat ahad, yang terakhir dengan periwayat seorang atau terlalu sedikit.
Berita ahad pada Ahlis-Sunnah bila sahih sandarannya dan matannya tidak mustahil pada akal, maka mesti diamalkan ajarannya. Dengan kaedah ini para ulama fiqh mensabitkan kebanyakan hukum Syariat dalam ibadat, mu’amalat, dan lain-lain bab haram dan halal.
Mereka menganggap sesat golongan-golongan yang menggugurkan wajib beramal dengan riwayat ahad seperti golongan Syiah Rafidah, Khawarij, dan lain-lain golongan yang mengikut hawa nafsu mereka.
Khabar mustafid adalah ditengah-tengah antara mutawatir dan ahad - mesti berilmu dengannya dan mesti beramal dengannya. Termasuk di bawah kaedah ini ialah ilmu tentang beberapa ma’jizat Nabi s.a.w. seperti terbelah bulan, bertasbihnya anak batu, meratapnya pelepah tamar, cukupnya makanan sedikit bagi orang ramai dan seterusnya.
Khabar mustafid banyak terdapat dalam hukum Syara’ seperti nisab zakat, had khamar, ilmu tentang menyapu dua kasut panjang, hukum rejam, dan yang sepertinya yang disepakati ulama fiqh tentang penerimaan terhadapnya; dianggap sesat mereka yang menyalahi mereka dalam hal ini seperti golongan Khawarij, yang mengingkari rejam.
Dan dikirakan kafir mereka yang mengingkari ru’ya atau memandang Allah di Syurga, Kolam nabi di akhirat, syafa’ah dan azab kubur.
Sabitnya Quran, zahirnya, dan mu’jizatnya yang menyebabkan ianya tidak boleh ditentang itu melalui riwayat mutawatir yang menjadikannya ilmu daruri.
Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Allah mentaklifkan para hambaNya mencapai ma’rifat terhadapNya, dan mereka diwajibkan tentangnya, juga mereka disuruh berma’rifat dalam hubungan dengan RasulNya, dan KitabNya, serta beramal dengan apa yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah nabiNya.
Dianggap kafir mereka yang menegaskan bahawa Allah tidak menyuruh ma’rifat seseorang itu, seperti yang diperpegangi oleh Thumamah, dan al-Jahiz, dan segolongan daripada Syiah Rafidah.
Mereka bersepakat bahawa usul Hukum Syariat ialah Quran, Sunnah, dan Ijma’ golongan Salaf. Mereka anggap kafir pihak yang menegaskan - seperti golongan Syiah Rafidah - bahawa tidak ada hujah sekarang ini pada Quran dan Sunnah kerana pada dakwaan mereka para Sahabat telah mengubah sebahagian dari Quran itu dan melakukan “tahrif” pada setengah daripadanya.
Mereka anggap kafir golongan Khawarij yang menolak semua hadith-hadith Sunan yang dinukilkan oleh para periwayatnya oleh kerana mereka mengatakan para penukil hadith itu - termasuk Sahabat - menjadi kafir.
Mereka menganggap kafir al-Nazzam yang menolak hujah ijma’ dan hujah mutawatir, dan yang berpegang kepada harus berlakunya persepakatan umat Islam atas kesesatan dan kemungkinan berlaku pembohongan di kalangan mereka yang terlibat dalam riwayat yang mutawatir.
2. Rukun Yang Kedua.
Tentang baharunya alam ini, yang mereka sepakati ialah alam itu ialah sekelian yang selain dari Allah. Maka sekelian yang lain dari Allah dan sifat-sifatNya yang azali adalah makhluk yang diciptakanNya. Pencipta alam bukan makhluk, bukan dicipta, bukan dari jenis alam, bukan dari jenis sesuatu bahagian atau juzu’ alam. Mereka bersepakat alam ini terdiri dari zat dan sifat (jauhar dan ‘arad).
Mereka mengajarkan tiap jauhar - iaitu atom - tidak boleh dibahagi (Sekarang ini ianya boleh dibahagi- proton, neutron, dan sebagainya, dengan entiti-entiti baharu seperti “quarks” dan seterusnya dalam fizik quantum).
Mereka mengajarkan adanya para malaikat, jin, dan syaitan-syaitan daripada makhluk-makhluk dalam alam. Mereka aggapkan kafir mereka yang mengingkari ini semua seperti golongan ahli falsafah dan puak Batiniah.
Mereka menganggapkan sesat golongan yang mengajarkan fahaman serba-dua (al-thanawiyah) iaitu jisim terdiri daripada nur atau cahaya, dan zulmah atau kegelapan; yang baik daripada nur, yang jahat daripada zulmah.
Mereka bersepakat tentang baharunya ‘arad pada semua jisim-jisim, dan mereka menganggap tiap-tiap ‘arad itu baharu pada tempatnya ‘arad itu tidak berdiri sendirinya.
Ahlis-Sunnah bersepakat tentang fananya seluruh alam ini dan mereka mengajarkan kekalnya syurga dan neraka, syurga dengan ni’matnya dan neraka dengan azabnya melalui jalan Syara’.
Mereka menganggap kafir golongan Jahmiah yang mengajarkan syurga dan neraka itu binasa.
Mereka menganggap kafir Abul-Hudhail yang berpendapat akan terputusnya ni’mat syurga dan azab neraka;
3. Rukun Yang Ketiga
Berkenaan Dengan Pencipta Alam, semua peristiwa yang berlaku mesti ada yang melakukannya dan yang menjadikannya. Ahlis-Sunnah menganggap kafir Thumamah dan pengikutnya dari golongan Qadariah yang mengajarkan bahawa perbuatan-perbuatan itu timbul sendiri - al-mutawallidah - tanpa pembuatnya. Mereka mengajarkan Pencipta alam hanya menjadikan jisim-jism dan ‘arad sahaja, bukan perbuatan-perbuatan.
Mereka menganggap kafir Ma’mar dan para pengikutnya dari golongan Qadariah yang mengajarkan Allah tidak menciptakan sesuatupun daripada ‘arad-‘arad yakni sifat-sifat yang ada pada jisim-jisim. Ia hanya menjadikan jisim-jisim sahaja. Jisim-jisimlah yang menjadikan ‘arad-‘arad sendirinya.
Golongan pelampau atau ghulat dari kalangan Syiah Rafidah mengajarkan bahawa ‘Ali adalah jauhar makhluk, yang baharu dijadikan, kemudian ia menjadi Tuhan Pencipta Alam dengan meresap masuk - hulul - roh Tuhan ke dalamnya. Mereka ini mengajarkan Tuhan tidak ada kesudahan dan hadNya.
Hasyim bin Hakam al-Rafidi mengajarkan Tuhan yang disembahnya tujuh jengkal dengan jengkalnya sendiri.
Ahlis-Sunnah mengajarkan mustahil Tuhan itu ada rupa bentuk dan anggota, khilaf bagi golongan ghulat Rafidah dan para pengikut Daud al-Hawari yang mengajarkan bahawa Tuhan ada, mempunyai rupa bentuk seperti rupa manusia.
Ahlis-Sunnah bersepakat mengajarkan bahawa Tuhan tidak dikandung ruang atau tempat, dan tidak berlalu atasNya perjalanan masa; ini berlawanan dengan pegangan kaum Syihamiyah dan Karramiyah yang mengajarkan bahawa Tuhan bersentuh dengan ‘Arasy.
Dinukilkan oleh Ahlis-Sunnah bahawa baginda ‘Ali rd menyataan bahawa Allah menjadikan ‘Arasy bagi menzahirkan QudratNya, bukan bagi menjadi tempat untuk ZatNya (izharan li-Qudratihi la makanan li Dhatihi). Katanya lagi: Telah ada Ia dan tiada tempat (bagiNya), dan Ia sekarang sebagaimana telah adaNya dahulu.
Ahlis-Sunnah menafikan adanya kecelaan, kesahan, dan kesakitan pada Tuhan. Mereka menafikan gerak dan diam padaNya. Ini berlawanan dengan Syiah Rafidah yang mengajarkan bahawa tempatNya baharu menjadi daripada gerakNya.
Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Allah Maha Kaya tidak memerlukan pertolongan makhlukNya, dan Ia tidak mendapat manafaat daripada makhlukNya untuk DiriNya, dan Ia tidak menolak kemudaratan dariNya melalui makhlukNya. Ini berlawanan dengan dakwaan para Majusi yang mengajarkan bahawa Allah menjadikan para malaikat untuk menolak kesakitan daripada Syaitan terhadapNya.
Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Pencipta Alam adalah Esa. Ini berlawanan dengan Majusi yang mengajarkan ada dua yang kadim, iaitu Nur dan Zulmah.
Ini juga berlawanan dengan Rafidah yang mengajarkan bahawa Allah menyerahkan tadbiran alam kepada ‘Ali, ialah Pencipta Yang Kedua (al-Khaliq al-Thani).
4. Rukun Yang Keempat
Berkenaan Dengan Sifat-Sifat Allah: IlmuNya, QudratNya, HayatNya, IradatNya, Sama’Nya, BasarNya, dan KalamNya, yang semuanya Sifat-Sifat Yang Azali dan Kekal.
Mu’tazilah menafikan semua Sifat-Sifat Azali bagi Allah: mereka mengajarkan tidak ada bagi Allah sifat Qudrat, Ilmu, Hayat, Basar, dan tidak ada PencapaianNya bagi semua yang boleh didengar.Mereka mensabitkan bagiNya kalam yang baharu.
Kata Ahlis-Sunnah: menafikan sifat bermakna menafikan apa yang disifatkan, sebagaimana menafikan perbuatan bermakna menafikan pembuat.
Ahlis-Sunnah bersepakat Kuasa Allah berlaku atas semua yang ditakdirkan, dengan QudratNya yang satu. Dengan Qudrat yang satu berlaku semua yang ditakdirkan.
Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Ilmu Allah adalah satu dengan Ilmu itulah Ia mengetahui semua maklumat secara terperinci tanpa pancaindera, cara badihiah, dan mengambil dalil.
Kaum Rafidah di kalangan Syiah mengajarkan Allah tidak mengetahui sesuatu sebelum jadinya.
Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Sifat Basar dan Sama’ Allah meliputi semua yang boleh dilihat dan didengar dan Allah berterusan melihat DiriNya dan Mendengar KalamNya.
Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Allah boleh dilihat oleh orang mukmin di akhirat. Mereka berpendapat harus melihatNya dalam tiap-tiap hal dan bagi tiap-tiap yang hidup melalui jalan akal. Dari mereka mengajarkan wajib orang mu’min melihatnya secara khusus di akhirat melalui jalan khabar dalam nas. Ini berlawanan dengan pendapat Qadariah dan Jahmiyah yang mengajarkan mustahil Ianya boleh dilihat.
Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Kehendak Allah - Iradat dan Masyi’ahNya - tertakluk atas segala perkara.
Mereka mengajarkan bahawa tidak ada yang berlaku dalam alam melainkan dengan KehendakNya, apa yang dikehendakiNya jadi, apa yang tidak dikehendakiNya, tidak menjadi.
Golongan Qadariah Basrah berpendapat ada Allah kehendaki apa yang tidak menjadi, dan ada yang menjadi apa yang tidak dikehendakiNya.
Ahlis-Sunnah bersepakat Hayat Tuhan tanpa roh dan makanan; dan semua arwah adalah makhluk. Ini berlawanan dengan Nasrani yang mendakwa sediakalanya bapa, anak dan roh (dalam tiga oknum mereka).
Mereka bersepakat bahawa kalamullah adalah SifatNya yang azali, dan itu bukan makhluk, bukan baharu.
5. Rukun Yang Kelima
Berkenaan Dengan Nama-Nama Allah, Nama-Nama Allah pada Ahlis-Sunnah adalah perkara tauqif, iaitu samaada ianya diambil daripada al-Quran atau Sunnah yang sahih atau ijma’ umat tentangnya; tidak dibolehkan qias tentangnya.
Berlawanan dengan pihak seperti Mu’tazilah Basrah yang membolehkan qias. Al-Jubba’I misalnya menyesatkan bila ia memberi nama Muti’ (yang taat) kepada Allah melalui jalan qias kerana katanya Allah memberi kehendak hambaNya.
Ahlis-Sunnah mengajarkan tentang adanya Sunnah yang menyebut nama Tuhyan sebanyak sembilan puluh sembilan, dan sesiapa yang membilang-bilangnya masuk syurga. Maksudnya bukan hanya menyebut dan membilang tetapi mempunyai ilmu tentangnya dan beriktikad tentang makna-maknanya.
Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa Nama-Nama Tuhan ada tiga bahagian: sebahagian yang menunjukkan ZatNya, seperti al-Wahid (Yang Esa), al-Ghani (Yang Maha Kaya), al-Awwal (Yang Kadim tanpa permulaan), al-Akhir (Yang Kekal tanpa kesudahan), al-Jalil (Yang Maha Hebat), al-Jamil (Yang Maha Indah), dan lain-lain yang Ia berhak bersifat dengannya.
Sebahagian lagi yang memaksudkan Sifat-SifatNya yang azali yang bersekali dengan ZatNya seperti al-Hayy (Yang Maha Hidup), al-Qadir (Yang Maha Berkuasa), al-‘Alim (YangMaha Mengetahui), al-Murid (Yang Maha Berkehendak), as-Sami’ (Yang Maha Mendengar), al-Basir (Yang Maha Melihat), dan lain-lain Nama daripada Sifat-Sifat Yang berdiri dengan ZatNya.
Sebahagian lagi Nama-Nama yang timbul daripada perbuatan-perbuatanNya seperti al-Khaliq (Yang menjadikan alam), ar-Razig (Yang Maha Mengurnia rezeki), al-‘Adil (Yang Maha Adil), dan yang sepertinya.
Bagi golongan pascamodernis yang menolah naratif agung- akidah seperti ini dalam agama - dan golongan materialis, ini semua tertolak sebagai bahan-bahan tanpa makna yang tidak perlu diambil kira. Ini perlu diberi respons dan perlu dihadapi dengan berkesan).
6. Rukun Yang Keenam.
Tentang Keadilan Ilahi dan Hikmat KebijaksanaanNya. Mereka mengajarkan bahawa Allah menjadikan jisim-jisim dan ‘arad-arad yang baiknya dan yang buruknya semua sekali (kalau sekarang boleh dikatakan Ia menjadikan semua atom-atom, neutron-neutron, proton, elektron, quark-quark, serta lain-lainnya seperti yang ada ini semua, samaada dalam bentuk gelombang atau zarrah, dengan sifat-sifatnya semua sekali).
Bahawa Allah menjadikan usaha para hambaNya, tidak ada yang menjadikannya selain daripada Allah. Ini berlawanan dengan golongan Qadariah yang menegaskan Allah tidak menjadikan sesuatupun daripada usaha para hambaNya, dan berlawanan dengan golongan Jahmiyah yang mengajarkan bahawa hamba tidak melakukan usaha dan tidak berkuasa atas usaha mereka.
Pada Ahlis-Sunnah sesiapa yang berpegang kepada ajaran bahawa para hamba menjadikan usaha mereka, ia Qadariyah, syirik dengan Tuhannya, kerana mendakwa para hamba menjadikan seperti Tuhan mennjadikan ‘arad-‘arad seperti gerak-gerak dan diam dalam ilmu dan iradat, kata-kata dan suara.
Dan - mereka mengajarkan - sesiapa yang menegaskan bahawa hamba tidak ada upaya untuk berusaha, ia tidak melakukan amal, serta tidak melakukan usaha, maka ia Jabariyah. Sesiapa yang berpegang kepada ajaran bahawa hamba berusaha bagi amalnya dan Allah pencipta usahanya, maka ia Ahlis-Sunnah.
Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa hidayah adalah dari Allah dari dua segi: iaitu segi menerangkan yang benar dan menyeru kepadanya, serta membentangkan hujah-hujah dan dalil untuknya. Dari segi in maka sah dinisbahkan hidayah kepada para Rasul a.s.s dan da’I kepada agama Allah kerana mereka memberi panduan yang benar kepada Allah. Ini penafsiran terhadap ayat yang bermaksud “Sesungguhnya tuan hamba menyeru kepada Jalan Yang Lurus” (Surah al-Shura: ayat 52).
Segi keduanya: hidayah pertunjuk Allah terhadap para hambaNya dalam erti menjadikan bimbingan hidayat dalam hati para hamba sebagaimana yang ada dalam ayat yang bermaksud “Maka sesiapa yang Allah kehendaki untuk memberi hidayat kepadanya, ia membukakan dadanya bagi menerima agama Islam, dan sesiapa yang Ia kehendaki supaya dibiarkan dalam kesesatan Ia menjadikan dadanya sempit…” (Surah al-An’am: ayat 126). Hidayat dalam aspek ini hanya Allah sahaja yang berkuasa melakukannya.
Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa sesiapa yang mati maka itu kerana ajalnya, dan Allah Maha Kuasa untuk memanjangkan umurnya.
Ahlis-Sunnah mengajar tentang rezeki iaitu sesiapa yang makan atau meminum sesuatu itu rezekinya, samaada halal atau haram, itu berlawanan dengan golongan Qadariah yang menegaskan bahawa manusia kadang-kadang makan apa yang bukan rezeki baginya.
7. Rukun Yang Ketujuh
Berkenaan Dengan Kenabian dan Kerasulan.. Mereka mengajarkan hakikat adanya kenabian dan kerasulan serta mereka menegaskan kebenaran adanya para Rasul a.s.s yang diutuskan Allah kepada para hambaNya. Ini berlawanan dengan ajaran Brahminisme (juga golongan materialis dan pascamodernis) yang menafikan itu walaupun mereka percaya kepada Tuhan Yang menjadikan alam.
Ahlis-Sunnah membezakan antara Rasul dan Nabi. Nabi ialah setiap orang yang turun wahyu kepadanya dari Allah melalui malaikat dan ia diperkuatkan dengan mu’jizat-mu’jizat yang menyalahi adat. Rasul ia sesiapa yang bersifat dengan sifat-sifat tersebut serta dikhaskan baginya syariat yang baharu, ataupun atau ia datang memansukhkan sebahagian daripada syariat yang terdahulu daripadanya.
Ahlis-Sunnah menganggapkan kafir orang yang mengaku nabi samaada sebelum Islam seperti Zardasyt, dan Mazdak dan sebagainya, dan yang selepas Islam seperti Musailamah al-Kazzab, Sajah, dan seterusnya.
Ahlis-Sunnah menganggap kafir golongan yang menisbahkan kenabian bagi imam-imam atau mengaku mereka itu Tuhan seperti golongan al-Bayaniah, al-Mansuriah, al-Khattabiyah, dan yang menjalani perjalanan mereka. (Termasuk ke dalam kategori ini golongan-golongan sesat yang mengaku Tuhan dalam diri mereka, atau pemimpin mereka menerima wahyu daripada Jibril, atau pemimpin mereka mi’raj, bersemayam atas ‘Arasy dan seterusnya, termasuk juga mereka yang mengaku adanya imam-imam maksum).
Mereka mengajarkan: para Nabi a.s.s lebih afdhal daripada para malaikat yang berlawanan dengan pendapat al-Husain bin al-Fadl berserta dengan kebanyakan daripada golongan Qadariah yang mengajarkan malaikat lebih utama daripada para Rasul a.s.s.
Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa para Nabi lebih afdal daripada aulia, ini berlawanan dengan mereka yang berpendapat para aulia lebih afdal daripada anbia.
Mereka mengajarkan para nabi maksum iaitu bersih daripada dosa. Ini berlawanan dengan pegangan golongan Hisyamiah daripada firkah Syiah Rafidah yang berpegang kepada pendapat para nabi boleh berdosa tetapi mereka mengajarkan bahawa para imam itu maksum bersih daripada dosa.
8. Rukun Yang Kelapan
Tentang Mu’jizat Dan Karamah. Mereka mengajarkan bahawa mu’jizat ialah perkara zahir yang menyalahi adat timbul pada seseorang nabi dalam menghadapi kaumnya dan kaumnya lemah untuk menghadapinya, dan ini membenarkan dakwaannya sebagai nabi; maka wajib ditaati nabi yang demikian.
Mereka mengajarkan harus zahirnya kekeramatan dari para aulia yang menunjukkan benarnya hal mereka itu.
Golongan Qadariah mengingkari adanya karmah aulia kerana mereka tidak mendapati orang yang mempunyai karamah dalam golongan mereka.
Ahlis-Sunnah mengajarkan Quran ada mu’jizatnya dalam bentuk susunannya; ini berlawanan dengan pendapat Qdariah, seperti an-Nazzam, yang menyatakan bahawa tidak ada mu’jizat dalam susunan sistem al-Quran.
Mereka mengajarkan ada mu’jizat Nabi Muhammad s.a.w. dalam bentuk terbelahnya bulan, bertasbihnya anak batu di tangannya, keluarnya air di celah-celah jarinya, memadainya makanan sedikit untuk orang yang sedemikian ramai, dan yang sepertinya. Golongan Qadariah seperti al-Nazzam mengingkari yang demikian itu.
9. Rukun Kesembilan
Tentang Syariat Islam Dan Rukun-Rukunnya. Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa Islam terdiri daripada lima rukun, iaitu syahadah, perlaksanaan sembahyang lima waktu, pembayaran zakat, puasa Ramadhan, dan ibadat haji ke Baitullahil-Haram.
Mereka mengajarkan sesiapa yang menggugurkan sesuatu rukun yang wajib daripada yang lima ini dan mentakwilkannya seperti yang dilakukan oleh golongan al-Mansuriah, dan al-Janahiah dari golongan ghulat Syiah Rafidah, maka ia kafir. (Ini sama seperti setengah golongan sesat yang menggugurkan wajib sembahyang kononnya kerana makam rohani yang tinggi yang dicapai oleh mereka).
Mereka mengajarkan sembahyang lima waktu, dan mereka menganggap kafir orang yang menggugurkan setengah daripadanya, seperti Musalamah al-Kazzab yang menggugurkan wajibnya sembahyang Subuh dan Maghrib; ia menggugurkannya itu sebagai mahar bagi perkahwinannya dengan isterinya Sajah yang juga mengaku nabi; maka ia menjadi kafir mulhid. (Ini sama dalam setengah perkara dengan golongan semasa yang mengajarkan sembahyang itu bukan lima waktu, dan caranya bukan seperti yang biasa diamalkan Ahlis-Sunnah, kerana golongan ini mahu berpegang kepada Quran sahaja mengikut tafsiran sendiri bukannya mengikut sistem ilmu atau epistemologi Sunni).
Ahlis-Sunnah mengajarkan wajib sembahyang Jumaat dan mereka menganggap kafir golongan Khawarij dan Syiah Rafidah yang mengajarkan tidak ada sembahyang Jumuat sehingga zahir imam mereka yang mereka sedang nanti-nantikan. (Maka tidak benar ajaran yang membolehkan orang-orang bersuluk tidak sembahyang Jumaat dengan alasan bersuluk, kerana dikatakan penyakit hati yang memerlukan suluk lebih besar daripada penyakit badaniah yang membolehkan orang mukallaf meninggalkan sembahyang Jumaat).
Ahlis-Sunnah mewajibkan zakat emas dan perak, wang, lembu kerbau, biji-bijian, makanan utama seperti tamar dan seterusnya, dan sesiapa yang mengatakan tidak wajib zakat dalam perkara-perkara tersebut, ia menjadi kafiir. Dijauhkan Allah.
Mereka mengajarkan wajib puasa pada bulan Ramadhan bila masuk bulan Ramadhan dengan ru’yah.
Mereka anggapkan sesat Rafidah yang berpuasa sebelum kelihatan anak bulan sehari dan berbuka sehari sebelum dibolehkan berbuka.
Mereka mengajarkan wajib menunaikan haji sekali seumur hidup bila seseorang itu ada kemampuan melakukannya dan aman jalannya.
Mereka menganggap kafir golongan yang mengatakan tidak wajib ibadat haji seperti golongan Batiniah. Tetapi mereka tidak menganggap kafir pihak yang mengatakan umrah tidak wajib kerana ada khilaf antara imam-imam tentang wajibnya.
Mereka mengajarkan syarat-syarat sah sembahyang yang terdiri daripada menutup aurat, masuk waktunya, mengadap kiblat, setakat yang mungkin.
Sesiapa yang menggugurkan syarat-syarat ini atau sesuatu daripadanya walhal itu mungkin dilakukan maka ia kafir.
Mereka mengajarkan bahawa jihad menghadapi para seteru Islam adalah wajib sehingga mereka tunduk dalam Islam, atau menunaikan jizyah.
Mereka mengajarkan harus berjual beli dan haram riba.
Mereka menganggap sesat golongan yang mengharuskan riba kesemuanya.
Mereka mengharuskan nikah dan mengharamkan zina; mereka menganggapkan kafir golongan al-Mu’badiyah dan al-Mahmarah dan al-Khurramiyah yang mengharuskan zina. (Ini menyentuh golongan yang mengamalkan ‘nikah batin’ dalam kalangan golongan sesat yang mengajarkan ‘ilmu hakikat’).
Ahlis-Sunnah mengajarkan wajib dilaksanakan hukum-hukum had atas zina, perbuatan meminum arak, mencuri, dan menuduh zina.
Mereka anggap kafir golongan yang mengatakan tidak wajib had kerana minum arak, dan hukum rejam kerana zina seperti golongan Khawarij.
Mereka mengajarkan bahawa punca-punca Syariah ialah al-Quran, Sunnah dan Ijma’ Salaf.
Mereka anggap kafir golongan Khawarij yang menolak hujah-hujah ijma’ dan sunah-sunah, juga mereka anggap kafir golongan Syiah Rafidah yang mengajarkan tidak ada hujah dalam semua perkara tersebut. Yang menjadi hujah hanya ajaran imam ghaib yang mereka sedang nanti-nantikan.
10. Rukun Yang Kesepuluh
Tentang perintah dan larangan dalam Syara’. Mereka mengajarkan bahawa perbuatan orang-orang mukallaf terbahagi kepada lima bahagian, iaitu yang wajib, haram, sunat, makruh, dan harus. (Diikuti dengan definisi-definisinya).
11. Rukun Yang Kesebelas
Berkenaan Dengan Hilangnya Para hamba dan hukum mereka di Akhirat. Mereka mengajarkan Allah berkuasa membinasakan seluruh alam dan membinasakan setengah jisim dan mengekalkan yang lainnya.
Mereka mengajarkan bahawa Allah akan mengembalikan semula hayat manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang mati di dunia, ini berlawanan dengan golongan yang mengatakan bahawa Allah menghidupkan semula manusia sahaja tidak yang lain-lainnya.
Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa Syurga dan Neraka adalah makhluk yang dijadikan, berlawanan dengan pendapat golongan yang mengatakan bahawa kedua-duanyua bukan makhluk.
Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa ni’mat Syurga kekal dan azab Neraka kekal atas ahli-ahlinya yang terdiri daripada mereka yang tidak membawa iman dan yang munafik. Ini berlawanan dengan pegangan mereka yang mengatakan bahawa Syurga dan Neraka tidak kekal, akan fana.
Ahlis-Sunnah mengajarkan yang kekal dalam neraka ialah mereka yang tidak membawa iman, berlawanan dengan pendapat Khawarij dan Qadariah yang mengajarkan kekal di dalamnya tiap-tiap orang yang masuk ke dalamnya.
Mereka mengajarkan golongan Qadariah dan Khawarij - yang telah dijelaskan sifat-sifatnya - kekal dalam Neraka. Dijauhkan Allah.
Mereka mengajarkan tetap ada soal dalam kubur dan ada fitnah dan azab di dalamnya bagi mereka yang berkenaan. Mereka memutuskan bahawa mereka yang mengingkari azab kubur akan diazabkan di dalamnya.
Mereka mengajarkan adanya Kolam Nabi, Sirat, dan Mizan.
Mereka mengajarkan adanya syafaat dari Nabi s.a.w. dan daripada mereka yang salih dari umatnya bagi mereka yang berdosa di kalangan Muslimin dan orang yang ada sebesar zarah iman dalam kalbunya. Mereka yang mengingkari syafaat tidak akan mendapat syafaat.
12. Rukun Yang Kedua Belas
Berkenaan Dengan Khilafah dan Imamah. Imamah, atau khilafah wajib atas umat Islam supaya pihaknya menjalankan hukum dan amanah-amanah, menjaga dan menguatkan kubu-kubu pertahanan, serta menghantar tentera jihad, membahagi-bahagikan fay’ - iaitu harta yang didapati bukan melalui peperangan, dan menyelesaikan masalah penzaliman ke atas mereka yang dizalimi.
Diikuti dengan syarat-syarat imamah: ilmu, keadilan, bangsa Quraisy.
13. Rukun Yang Ketiga Belas
Berkenaan dengan Iman, Islam. Mereka mengajarkan asal iman ialah ma’rifah, tasdiq (pembenaran) dengan hati. Mereka mengajarkan wajib taat dalam perkara yang wajib dan sunat dalam perkara yang sunat.
Ahlis-Sunnah mengajarkan keimanan tidak hilang dengan berlakunya dosa, tetapi hilang dengan berlakunya kekufuran. Dijauhkan Allah. Orang yang berdosa dia mu’min, bukan kafir, walaupun ia menjadi fasik kerana dosanya.
Ahli Sunnah mengajarkan tidak halal membunuh orang mu’min melainkan kerana salah suatu daripada yang tiga: murtad, zina selepas kahwin, atau hukum qisas kerana orang itu membunuh orang.
Ini berlawanan dengan golongan Khawarij yang mengharuskan bunuh tiap-tiap orang yang melakukan maksiat.
14. Rukun Yang Keempat Belas
Berkenaan Dengan Para Wali dan Imam-Imam. Ahlis-Sunnah mengajarkan para malaikat maksum daripada semua dosa berdasarkan ayat yang bermaksud: ”Mereka tidak derhaka terhadap Allah tentang perkara yang diperintahkan kepada mereka dan mereka lakukan apa yang disuruh” (Surah at-Tahrim: ayat 6).
Kebanyakan mereka dalam Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa para nabi a.s.s. melebihi kedudukan para malaikat, berlainan daripada mereka yang menyatakan bahawa para malaikat melebihi kedudukan para nabi. Pendapat ini menyebabkan pegangan bahawa malaikat Zabaniah penjaga Neraka itu melebihi kedudukan ulul-‘azmi di kalangan para rasul.
Ahlis-Sunnah mengajarkan: para nabi melebihi para wali, ini berlawanan dengan golongan Karramiah yang mengajarkan para wali melebihi nabi.
Ahlis-Sunnah mengajarkan: keutamaan sepuluh orang Sahabat yang diputuskan oleh Nabi bahawa mereka ahli syurga terdiri daripada empat khalifah, kemudian Talhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’id bin Zaid, dan ‘Abd al-rahman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah. Allah meredhai mereka.
Mereka mengajarkan: terutamanya mereka yang menjadi ahli perang Badar berserta dengan Nabi dan diputuskan bahawa mereka ahli Syurga (Ini semua berlawanan dengan golongan yang mengkritik dan mencela para sahabat terdiri daripada golongan Syiah Rafidah dan lainnya, dan juga pengarang-pengarang moden yang suka mengkritik para Sahabat dan melanggar adab-adab dalam hubungan dengan mereka, yang pembelaan tentang mereka itu banyak dibuat oleh Qadi ‘Iyad rh dalam kitabnya al-Shifa).
15. Rukun Yang Kelima Belas
Berkenaan Dengan Hukum Tentang Para Musuh Islam. Ahlus-Sunnah mengajarkan: Para musuhnya ada dua: yang sebelum Islam dan yang lahir zaman Islam dan yang menunjukkan secara zahirnya mereka Orang Islam.
Mereka yang sebelum Islam terdiri daripada pelbagai golongan: para penyembah berhala dan patung;
Yang mengikut aliran hululiah yang mengajarkan roh Tuhan masuk meresap dalam bentuk-bentuk yang cantik; para penyembah matahari, bulan, bintang-bintang semuanya atau setengah daripadanya;
Yang menyembah malaikat dan memanggilnya sebagai anak-anak perempuan Allah; yang menyembah Syaitan (menyentuh “satanic cult” sekarang); menyembah lembu; menyembah api;
Pada Ahlis-Sunnah mereka yang menyembah berhala, manusia, dan malaikat, bintang, api, dan sebagainya haram berkahwin dengan wanita mereka.
Tentang jizyah boleh diterima daripada Ahlil-Kitab dan mereka yang ada sesuatu kitab seperti Ahlil-Kitab.
Mereka yang tidak membawa iman sebelum Islam: golongan “sophist” - as-sufista’iyah - yang mengingkari adanya hakikat ilmu, termasuk golongan al-Sumniyah yang mengajarkan alam ini kadim, dan mereka mengingkari tilikan akal dan pengambilan dalil dalam pemikiran, dengan dakwaan bahawa tidak ada yang boleh diketahui melainkan yang melalui pancaindera sahaja.
Termasuk golongan Materialist klasik - dahriyah - yang mengajarkan alam ini kadim.
Termasuk golongan yang mengajarkan kadim benda awal alam (hayula al-‘alam)
Termasuk golongan ahli falsafah yang mengajar alam ini kadim dan mereka menolak adanya Tuhan Maha Pencipta; antara, mereka ialah Pythagoras. (Antara ahli sains moden tidak sedikit yang materialist dan menolak adanya Tuhan dan alam rohani). Muslimin bersepakat bahawa semua golongan tersebut tidak boleh dimakan sembelihan mereka dan wanita mereka tidak boleh dikahwini oleh Muslimin. (Diikuti dengan pendetailan hukum tentang jizyah dari mereka, perkahwinan dengan wanita mereka dan sebagainya).
Tentang mereka yang tidak membawa iman dalam daulah Islam dan berselindung dengan zahir Islam mereka, dan memperdaya Muslimin secara rahasia: mereka ialah golongan Syiah ghulat rafidah al-Sababiah, al-Bayaniyah, al-Muqanna’iyyah, al-Mansuriah, al-janahiah, al-Khattabiyah, dan lainnya yang berpegang kepada mazhab hulul dan batiniah; juga mereka yang berpegang kepada tanasukh al-arwah - berpindah-pindahnya roh masuk ke dalam badan manusia - terdiri daripada para pengikut ibn Abil-Auja’ juga mereka yang mengikut ajaran Ahmad bin Ha’it dari golongan Mu’tazilah.
Juga termasuk: mereka yang berpegang kepada ajaran Yazidiah dari golongan Khawarij yang menegaskan bahawa Syariat Islam menjadi mansukh dengan adanya nabi dari golongan orang bukan Arab. Demikian seterusnya. (Termasuk ke dalam golongan ini mereka yang mendakwa Syariat Islam “tergantung” kerana Imam Mahadi belum datang; maka diharuskan oleh mereka itu zina, arak, dan sebagainya). Golongan ini semua tidak halal dimakan sembelihan mereka dan wanita mereka tidak boleh dikahwini oleh Muslimin.
Ringkasnya Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa orang-orang yang menunjukkan amalan dan pegangannya dalam Ahlis-Sunnah ialah mereka yang bebas daripada amalan-amalan dan pegangan-pegangan golongan-golongan yang terkeluar daripada Islam, dan yang terdiri daripada mereka yang mengikut hawa nafsu, walaupun mereka dinisbahkan kepada Islam seperti Qadariah, Murjiah, Syiah Rafidah, Khawarij, Jahmiah, Najjariah dan Mujassimah.


By.Ahmad Faruq

Harokah Islam


EMPAT HAROKAH ISLAM INTERNATIONAL
(Salafy, Jamaah Tablig, Ihwanul Muslimin, Hizbut Tahrir)
Pengertian Harokah dalam pembahasan disini adalah organisasi / harokah (pergerakan) / kelompok yang mempunyai peraturan dan struktur organisasi yang jelas (Ihwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir) atau pun yang tidak / kurang mempunyai peraturan dan struktur organisasi yang jelas (Jamaah Tabligh dan Salafy) namun masing-masing mempunyai ciri-ciri yang bisa dibedakan dengan pihak yang lain.
Dikatakan Harokah International karena mempunyai cabang/ perwakilan/ afiliasi/ anggota/ pengikut/ simpatisan yang tersebar luas di seluruh dunia. Secara umum ke-empatnya ber akidah ahlus sunnah wal jamaah
Susunan urutan pembahasan dibuat berdasarkan urutan tahun berdirinya, dimulai dari yang paling awal disusul berturut-turut yang lebih muda tahun berdirinya.
I. SALAFY (Generasi Awal)
A. Latar belakang sejarah
Harokah Salafy yang dikenal sekarang ini latar belakang sejarahnya tidak dapat lepas dari gerakan atau aliran Wahabi di Arab Saudi pada tahun 1700 an Masehi (abad 18). Maka disini akan diruntut dari latar belakang sejarah gerakan Wahabi.
Gerakan / Aliran Wahabi :
Kata `Wahabi` bila kita runut dari asal katanya mengacu kepada tokoh ulama besar di tanah Arab yang bernama lengkap Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M). Beliau lahir di Uyainah dan belajar Islam dalam mazhab Hanbali. Beliau telah menghafal Al-Quran sejak usia 10 tahun.
Sosok Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi pelopor gerakan ishlah (reformasi) yang muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan berpikir pemikiran dunia Islam sekitar 3 abad yang lampau atau tepatnya pada abad ke-12 hijriyah. Pada era kebekuan berpikir itu para ulama Islam mencukupkan diri ber taqlid pada Ulama / Mujtahid Imam Mazhab yang empat dengan kecenderungan pada fanatisme terhadap masing-masing mazhabnya.
Sementara fenomena umat di lapisan bawah yang awam saat itu sungguh memilukan. Mereka telah menjadikan kuburan menjadi tempat pemujaan dan meminta kepada selain Allah. Kemusyrikan merajalela. Bid`ah, khurafat dan takhayyul menjadi makanan sehari-hari. Dukun, ramalan, sihir, ilmu ghaib seolah menjadi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan umat Islam.
Dakwah gerakan Wahabi ini menyerukan agar aqidah Islam dikembalikan kepada pemurnian arti tauhid dari syirik dengan segala manifestasinya. Muhammad bin Abdul Wahhab saat itu bangkit mengajak dunia Islam untuk sadar atas kebobrokan aqidah ini. Beliau menulis beberapa risalah untuk menyadarkan masyarakat dari kesalahannya. Salah satunya adalah kitabuttauhid yang hingga kini menjadi rujukan banyak ulama aqidah.
Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab ini kemudian melahirkan gerakan umat yang aktif menumpas segala bentuk khurafat, syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam yang asli. Mereka melarang membangun bangunan di atas kuburan, menyelimutinya atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang meminta kepada kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal, tukang sihir dan tukang teluh. Mereka juga melarang tawassul dengan menyebut nama orang shaleh sepeti kalimat bi jaahi rasul atau keramatnya syiekh fulan dan fulan bahkan sampai menggunakan kekerasan dan senjata dalam dakwahnya.
Dakwah dan pemikiran beliau banyak disambut ketika beliau datang di Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan dimuliakan oleh penguasa setempat (kepala suku) yaitu pangeran Muhammad bin Sa`ud yang berkuasa 1139-1179 H. Oleh pangeran, dakwah beliau didukung, ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam gerakan nasional yang cenderung keras dan radikal dan didukung penuh oleh kepala suku sekaligus komandan lapangan (war lord) Muhammad bin Sa`ud.
Satuan –satuan bersenjata mereka menyerang dan menaklukan seluruh penguasa wilayah (War lord) lain diseluruh Hijaz dan Nejed (Wilayah Arab Saudi sekarang). Sebelum berdaulat sendiri Arab Saudi secara administratif dan protektorat saat itu berada dalam kekuasaan Khilafah Turki Usmani, berdasarkan baiat penguasa Mekkah Syarif Hussein kepada Khalifah Sulaiman Qanuni penguasa Turki Usmani.
Ketika gerakan Wahabi menghebat, dunia Islam sedang menghadapi ekspansi kolonialisme negara-negara eropah dan Khilafah Turki Usmani sedang lemah dan sibuk berperang diberbagai front menghadapi serbuan kolonialisme negara-negarga eropah. Gerakan Wahabi semakin kuat dan menguasai seluruh Arab Saudi hingga mereka berdaulat sendiri lepas dari Khilafah Turki Usmani. Muhammad Bin Saud berkuasa menjadi raja pertama dan menerapkan system pemerintahan monarki sampai sekarang ini dan menjadikan pemikiran Wahabi sebagai mazhab kerajaan.
Oleh banyak kalangan, gerakan ini dianggap sebagai pelopor kebangkitan pemikiran di dunia Islam, antara lain gerakan Mahdiyah, Sanusiyah, Pan Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir dan gerakan lainnya di benua India. Paling tidak, masa hidup Muhammad bin Adbul Wahhab lebih dahulu dari mereka semua.
Tokoh-tokoh ulama yang paling sering mereka jadikan rujukan adalah :
- Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H)
- Ibnu Taimiyah (661-728 H)
- Muhammad Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (6691-751H)
- Syeikh Muhammad Nashiruddin Albani
- Syeikh Abdul Aziz Bin Baz
B. Karakteristik
Gerakan Wahabi yang boleh dikatakan cikal bakal dan “kendaraan” yang mengantarkan Dinasti Ibnu Saud berkuasa di Kerajaan Arab Saudi ini pemikirannya dijadikan mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi dan tetap dipelihara serta dianut oleh para penguasa dan mayoritas rakyat Arab Saudi sampai saat ini. Mazhab dan corak pemikiran Wahabi ini diekspor keluar dari batas Wilayah Arab Saudi yang sekarang ini dikenal sebagai SALAFY walau kalangan salafiyin kadang tidak suka bila dikatakan bahwa corak pemikiran dan latar belakang mereka secara kenyataan merupakan kepanjangan dari Wahabi.
Karakteristik Salafy :
1. Fikihnya mengikuti imam Ahmad Bin Hanbal
Imam Ahmad Bin Hanbal dikenal lebih mengutamakan menggunakan Hadis dalam Ijtihadnya dari pada menggunakan rasio (Qiyas, Istihsan, Maslahah mursalah, dsb). Bila tidak ada nash Qoth’i beliau lebih suka menggunakan hadis dhoif dari pada Qiyas. Sebagian Ulama menilai Imam Ahmad Bin Hanbal lebih sebagai ahli hadis dari pada sebagai ahli Fikih.
2. Mengutamakan Hadis dan ahli hadis.
Pola pemikiran ini mewarisi pola Ijtihad Imam Ahmad Bin Hanbal yang dianut oleh Pelopor aliran Wahabi. Banyak merujuk kepada ahli Hadis Imam Muhammad Nashiruddin Albani yang dalam sejarahnya dikenal lebih banyak menghafal dan mempelajari hadis di perpustakaan dan kurang mendalami ushul fikih, maka corak fikihnya kebanyakan memegangi makna lahir (tekstual) dari ayat dan hadis.
3. Keras dalam masalah tauhid dan akidah.
4. Sangat menentang Kurafat/Tahayul dan Bid’ah.
5. Menganggap Bid’ah dholalah semua perkara baru yang tidak ada dalam nash syariat.
6. Tidak mengakomodasi budaya atau adat local.
7. Tidak mempunyai aturan dan struktur organisasi yang baku.
8. Terkesan puritan dan kurang akomodatif dengan masalah aktual progressif (kekinian).
9. Menganggap Kerajaan dan Raja Arab Saudi sebagai Khilafah Islam.
Ini dapat dipahami karena gerakan wahabi dan Kerajaan Arab Saudi adalah saling mendukung antara yang satu terhadap yang lain.
10. Menolak demokrasi dan parlemen.
Pemikiran ini dilatar belakangi Kenyataan bahwa Kerajaan Arab Saudi menerapkan sistem monarki kerajaan, Trend demokrasi dan pemerintahan parlementer yang kemudian muncul belakangan dan berhembus karena pengaruh dari negara-negara eropah dianggap membahayakan “Status Quo” system monarki kerajaan Arab Saudi.
11. Ofensif menyerang pemikiran harokah dan ulama diluar kalangan mereka.
Setelah gerakan Wahabi yang didukung pangeran Muhammad ibn Saud sukses berkuasa di Arab Saudi dan merupakan pelopor reformasi kebekuan pemikiran Islam yang menjadi inspirasi kebangkitan pemikiran Islam lainnya seperti : Syeikh Jamaludin Al Afghani dengan konsep Pan Islamisme nya yaitu mengembalikan Khilafah Islamiah international, Syeikh Muhamad Abduh dengan konsep Harokah Islamiah yaitu pergerakan yang berusaha menerapkan syariat Islam pada seluruh sektor kehidupan yang kemudian diteruskan oleh muridnya Syeikh Rasyid Ridho yang menjadi inspirasi berdirinya Harokah Ihwanul Muslimin di Mesir yang saat itu dibawah pemerintahan penjajahan atau protektorat Inggris.
Konsep pemikiran harokah ini bertujuan mengembalikan Khilafah Islamiah international dan menerapkan syariat Islam sebagai hukum positip negara.
Harokah Ihawanul Muslimin ini akhirnya menyebar keluar mesir dan mempunyai cabang dan pengikut di beberapa negara Arab (Timur Tengah).
Dalam perjalanan sejarahnya harokah ini selanjutnya memasuki wilayah politik yang bersikap oposan terhadap pemerintah sekuler Mesir dan mulai timbul gejala radikalisme dalam usaha mengambil alih pemerintahan.
Negara-negara Arab di Timur Tengah yang menerapkan sistem pemerintahan monarki kerajaan dianggap kurang sesuai dengan konsep syriat Islam
Sikap radikal dan oposan dari sebagian pengikut Ihawanul Muslimin ini merembet juga ke pengikutnya yang ada di negara negara Timur Tengah (termasuk Arab Saudi), mereka memandang negara negara Arab di Timur Tengah yang menerapkan sistem pemerintahan monarki kerajaan dianggap kurang sesuai dengan konsep syriat Islam, apalagi dalam perkembangan selanjutnya setelah ditemukan minyak di negara negara Arab para bangsawan kerabat Raja hidup bergelimang dalam kemewahan. Maka berkembangnya Ihwanul Muslimin tidak disukai dan dianggap membahayakan “status quo” para penguasa monarki Arab Saudi ditambah lagi dengan kenyataan perbedaan mazhab fikih Ihwanul Muslimin yang ber mazhab Syafii yang juga memakai rasio (qiyas) dalam ijtihadnya.
Untuk membendung dan meng counter perkembangan dan pemikiran Ihawanul Muslimin, penguasa Arab Saudi dan didukung para Ulama mazhab Wahabi membuat harokah tandingan yang sekarang ini dikenal sebagai SALAFY yang tujuannya membela status quo Khilafah Islam penguasa monarki Arab Saudi dan menyebarkan pemikiran wahabi yang keras dalam masalah akidah dan fikih mazhab Hanbali yang mengutamakan teks ayat dan hadis. Hal inilah yang melatar belakangi sikap para tokoh Salafiyin menjadi Agresif dan Ofensif menyerang kelompok lain terutama Ihwanul Muslimin dan juga Hizbut Tahrir (dulunya bagian atau paling tidak simpatisan Ihwanul Muslimin).
C. Kiprahnya
1. Gerakan Wahabi mendobrak kejumudan dalam kurafat-tahayul-kemusyrikan akidah.
2. Gerakan Wahabi sebagai pelopor reformasi pemikiran yang beku.
3. Di masa sekarang ini, gerakan salafi di Indonesia kembali terasa gregetnya di awal tahun 1990-an. Gerakan ini dibawa oleh para sarjana alumni Timur Tengah khususnya yang bersekolah di Universitas-universitas di Arab Saudi dan Kuwait. Mereka banyak mendirikan yayasan, jam’iyah, pengajian dan seruan untuk kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Termasuk menyebarkan dakwah di kampus, masjid, kelompok masyarakat dan sebagainya.
4. Aktif dalam study hadis
5. Aktif dalam menentang Bid’ah
6. Aktif dalam amar makruf nahi munkar terutama lewat tulisan
7. Aktif dalam tarbiyah dalam halaqoh
II. Jamaah Tabligh (Menyampaikan dakwah)
A. Latar belakang sejarah
Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy lahir pada tahun 1303 H (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah Al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama. Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya.
Ayah beliau, Syaikh Muhammad Ismail adalah seorang ruhaniwan besar yang suka menjalani hidup dengan ber-uzhlah, berkhalwat dan beribadah, membaca Alquran serta mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu agama. Adapun ibunda beliau, Shafiyah Al-Hafidzah, adalah seorang Hafidzah Alquran. Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada kakeknya, Syaikh Muhammad Yahya. Beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di kota kelahirannya.
Kakeknya adalah penganut mazhab Hanafi dan teman dari seorang ulama dan penulis Islam terkenal, Syaikh Abul Hasan Al-Hasani An-Nadwi. Sejak saat itulah beliau mulai menghafal Alquran. Dari kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam dirinya. Beliau memilki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga Allamah Asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar ilmu Hadis pada madrasah Darul Ulum Deoband) pernah mengatakan, “sesungguhnya apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat kisah perjuangan para sahabat.
” Pada suatu ketika saudaranya, Maulana Muhammad Yahya, pergi belajar kepada seorang alim besar dan pembaru yang ternama yakni Syaikh Rasyid Ahmad Al-Gangohi, di desa Gangoh, Utar Pradesh, India. Maulana Muhammad Yahya belajar membersihkan diri dan menyerap ilmu dengan bimbingan Syaikh Rasyid. Hal ini membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar pada Syaikh Rasyid sebagaimana kakaknya. Akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk belajar agama menyertai kakaknya di Gangoh.
Akan tetapi selama tinggal dan belajar di sana Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya selama bertahun-tahun lamanya. Tabib Ustadz Mahmud Ahmad putra dari Syaikh Gangohi sendiri telah memberikan pengobatan dan perawatan pada beliau. Sakit yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnya pun menurun, akan tetapi beliau tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar beliau berhenti belajar untuk sementara waktu, tapi beliau menjawab, “apa gunanya aku hidup jika dalam kebodohan”.
Dengan izin Allah SWT, Maulana pun menyelesaikan pelajaran Hadis Syarif, Jami’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari. Dan dalam jangka waktu empat bulan beliau sudah menyelesaikan Kutubus Sittah. Tubuhnya yang sering terserang sakit semakin membuat beliau bersemangat dalam menuntut ilmu. Begitu pula kerisauannya bertambah besar terhadap keadaan umat yang jauh dari syari’at Islam.
Beliau akhirnya berkenalan dengan Syaikh Khalid Ahmad As-Sharanpuri penulis kitab Bajhul Majhud Fi Hilli Alfazhi Abi Dawud dan berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki membuat beliau semakin tawaddu’ serta dihormati di kalangan para ulama dan masyaikh. Suatu ketika di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh ulama-ulama besar. Di antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman Ar-Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad As-Sharanpuri dan Syaikh Asyraf Ali At-Tanwi. Waktu itu tiba waktu shalat Ashar.
Mereka meminta Maulana Ilyas untuk mengimami shalat tersebut. Setelah kematian kakaknya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Agustus 1925, orang ramai meminta kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan kakaknya di Nizamuddin. Waktu itu beliau sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Mazhahirul Ulum. Akhirnya, setelah mendapat izin dari Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan jika tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana Ilyas diberi kesempatan untuk berhenti mengajar.
Beliau akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke madarasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat mengajar yang tinggi beliau membuka kembali madrasah tersebut. Semangat yang tinggi untuk memajukan agama, beliau pun mendirikan Maktab di Mewat. Namun kondisi geografis yang agraris menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai anak-anak mereka pergi ke kebun atau ke sawah daripada ke Madrasah atau Maktab untuk belajar agama, membaca atau menulis.
Maulana Ilyas dengan terpaksa meminta orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka untuk belajar dengan biaya yang ditanggung oleh Maulana sendiri. Besarnya pengorbanan Maulana hanya untuk memajukan pendidikan agama bagi masyarakat tidak mendapatkan perhatian. Mereka enggan menuntut ilmu dan lebih senang hidup dalam kondisi yang sudah dijalani turun temurun. Melihat keadaan Mewat itu, semakin menambah kerisauan beliau akan keadaan umat Islam.
Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah-madrasah banyak didirikan, tetapi hal itu belum dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat Mewat. Dengan izin Allah timbullah keinginannya untuk mengirimkan jamaah dakwah ke Mewat. Pada tahun 1351 H/1931 M, beliau menunaikan haji yang ketiga ke Tanah Suci Makkah. Kesempatan tersebut dipergunakan untuk menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna mengenalkan usaha dakwah.
Selama di Makkah, jamaah bergerak setiap hari sejak pagi sampai petang, usaha dakwah terus dilakukan untuk mengajak orang taat kepada perintah Allah. Dalam pandangan Maulana Muhammad Ilyas, dakwah merupakan kewajiban umat Nabi Muhammad SAW. Pada prinsipnya setiap orang yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad memiliki kewajiban mendakwahkan ajarannya, yaitu agar selalu taat kepada Allah dengan cara yang telah dicontohkan Rasulullah.
Sepulang dari haji, Maulana mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai jamaah dengan jumlah sekitar seratus orang. Dalam kunjungan tersebut beliau selalu membentuk jamaah-jamaah yang dikirim ke kampung-kampung untuk ber-jaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya agama. Beliau sepenuhnya yakin bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerusakan.
Dari Mewat inilah secara berangsur-angsur usaha tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra, Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah lainnya. Begitu juga di bandar-bandar pelabuhan banyak jamaah yang tinggal dan terus bergerak menuju tempat-tempat yang ditargetkan sepeti halnya daerah Asia Barat. Terbentuknya jamaah ini adalah dengan izin Allah melalui kerisauan seorang Maulana Muhammad Ilyas.
Kemudian menyebarlah jamaah-jamaah tabligh yang membawa misi ganda yaitu ishlah diri (perbaikan diri sendiri) dan mendakwahkan kebesaran Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Perkembangan jamaah ini semakin hari semakin tampak. Gerakan jamaah tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi sedikit telah menyebar ke barbagai negara. Hanya kekuasaan Allah yang dapat memakmurkan dan membesarkan usaha ini.
Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya, Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa beliau akan mengamanahkan kepercayaan sebagai amir jamaah kepada sahabat-sahabatnya seperti Hafidz Maqbul Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi Inamul Hasan, Mulvi Sayyid Raza Hasan.
Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha dakwah dan tabligh. Pada sekitar bulan Juli 1944 beliau jatuh sakit yang cukup parah. Kondisi tubuhnya yang lemah merupakan bukti bahwa beliau bersungguh-sungguh menghabiskan waktu mengembara dari satu tempat ke tempat lain bersama dengan jamaah untuk mendakwahkan kebesaran Allah.
Akhirnya Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, beliau pulang ke rahmatullah sebelum adzan Shubuh. Beliau tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran beliau dituang dalam lembar-lembar kertas surat yang dihimpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini.
Metode dakwah tabligh dengan metode melakukan perjalanan mengunjungi (jaulah) dan menetap beberapa waktu di suatu tempat sasasan dakwah ini akhirnya menjadi harokah yang mempunyai banyak pengikut dan keluar dari anak benua India menyebar ke seluruh dunia.
B. Karakteristik
1. Mengutamakan ber tabligh yaitu dakwah dengan mengunjungi (jaulah) dan menetap beberapa lama di kawasan yang dijadikan obyek dakwah.
2. Mengutamakan akhlak, kebersihan hati dan dzikir.
3. Menganjurkan banyak beramal dan beribadah.
4. Fikihnya bermazhab Abu Hanifah tapi tidak mengikat untuk anggotanya.
5. Toleran terhadap budaya dan adat lokal.
6. Aktif ber amar makruf nahi munkar.
7. Dakwahnya lemah-lembut dengan jaulah (kunjungan) ke semua kalangan.
8. Sangat toleran dan tidak radikal.
9. Aktif dalam tabiyah halaqoh.
10. Tidak mempunyai aturan dan struktur organisasi yang baku.
11. Tidak terlibat atau membahas masalah politik.
12. Tidak ofensif terhadap harokah dan ulama diluar kalangan mereka.
D. Kiprahnya
1. Aktif melakukan JAULAH yaitu perjalanan (safar) ke suatu kawasan dan menetap beberapa lama untuk melakukan tabligh (menyampaikan) dakwah Islam.
2. Aktif dalam tarbiyah halaqoh
3. Aktif dalam amar makruf nahi munkar lewat lisan.
III. Ihwanul Muslimin (Persaudaraan Islam)
A. Latar Belakang Sejarah
Pada era abad 19 Masehi gelombang kolonialisme dan imperialisme sedang melanda hampir di semua dunia Islam. Khilafah Islam Turki Usmani sedang dalam masa lemah dan sakit yang kronis. Turki Usmani sedang mati matian berperang melawan negara negara Eropah (Yunani, Rusia, Inggris, Italia dan Perancis). Satu per satu wilayah dalam kekuasaan Khilafah Turki Usmani dicaplok oleh negara-negara eropah tanpa bisa dicegah oleh Sultan Turki. Perancis menguasai Afrika Utara, Italia menguasai Aljazair, Rusia mencaplok wilayah kaukasus dan Asia Tengah, Inggris menguasai Syria-Palestina.
Disamping itu ada juga wilayah-wilayah dibawah kekuasaan Imperium Khilafah Turki Usmani yang memberontak dan melepaskan diri seperti : negara negara Slavia (Eropah Timur), Yunani dan negara negara balkan, Gubernur Mesir Muhamad Ali Pasha juga mengumumkan Mesir berdiri sendiri lepas dari kekuasaan Khilafah Turki Usmani, Penguasa Wilayah (war lord) di Semenanjung Arabia juga lepas dari kontrol kekuasaan pusat Turki Usmani. Wilayah Hijaz dan Nejed dikuasai oleh kaum Wahabi dan akhirnya mendirikan kerajaan Arab Saudi lepas dari Khilafah Turki Usmani. Akhirnya Khilafah Islamiah Turki Usmani benar benar mati setelah dibunuh oleh Kemal Attaruk pada tahun 1924 yang menghapuskan sistem Khilafah Islam yang menerapkan syariat Islam sebagai hukum positip negara dan menggantinya dengan sekulerisme yang menerapkan Undang Undang keluaran parlemen sebagai hukum positip negara.
Dunia Islam diluar bekas wilayah imperium Turki Usmani tidak jauh berbeda nasibnya, Pakistan-India dan Malaysia-Brunei dijajah oleh Inggris, demikian juga Indonesia dijajah oleh Belanda. Masa itulah Umat Islam sedang berada pada posisi paling rendah dalam bidang politik dan seperti kue yang seenaknya dibagi-bagi dan disantap oleh negara-negara Imperialis-Kolonialis Eropah. Keadaan itulah yang pernah diramalkan dalam hadis Nabi yaitu umat Islam “seperti makanan dimeja makan yang disantap oleh orang-orang yang lapar”-Benarlah apa yang dikatakan Rosulullah-.
Mesir pada mulanya berdaulat sendiri setelah Gubernur Muhammad Ali Pasha memberontak dan menyatakan berdaulat sendiri lepas dari kekuasaan Turki Usmani, ternyata kemudian tidak mampu menahan ekspansi penyerbuan tentara Inggris yang sebelumnya sudah menguasai Syiria dan Palestina, jadilah kemudian Mesir dijajah oleh Inggris.
Kekuasaan pemerintahan ada ditangan para penjajah, hukum positip yang diterapkan adalah Undang Undang buatan mereka, sumber daya kekayaan alam dihisap oleh para penjajah, Pendidikan dan usaha mencerdaskan umat sengaja tidak dilakukan. Dunia Islam benar benar berada pada posisi paling lemah secara politis, militer, ekonomi, iptek dan peradaban. Para Ulama Islam juga mengalami kebekuan pemikiran dan mencukupkan diri dengan mengikuti mazhab empat imam mazhab mujtahid dengan fanatisme pada masing-masing mazhab yang terkadang sampai muncul friksi fisik perselisihan dikalangan akar rumput umat.
Masa penjajahan yang panjang tersebut juga mengakibatkan masing-masng wilayah/negara Islam sibuk dengan dirinya sendiri dalam berbagai usaha perlawanan terhadap penjajah ditambah lagi racun pemikiran “NASIONALISME” dan “SEKULERISME” yang sengaja dihembuskan oleh para pemikir barat dengan tujuan agar Khilafah Islamiah yang menerapkan syariat Islam sebagai hukum positip dalam kehidupan bermasyarakat sekaligus bernegara tidak hidup lagi dikalangan kaum muslilim. Kaum Penjajah menyadari bahwa system pemerintahan Khilafah Islamiah yang meliputi seluruh kaum muslimin dunia itulah kunci kekuatan Islam sebagi kekuatan politis yang dahulu sanggup membawa kaum muslimin pada puncak kejayaannya, maka kaum penjajah sengaja menebarkan racun nasionalisme dan sekulerisme di wilayah-wilayah Islam yang mereka kuasai.
Adanya gerakan reformasi Wahabi yang radikal dalam bidang akidah dan politik di Arab Saudi dan berhasil mengantarkan Dinasti Ibnu Saud ke tampuk kekuasaan di kerajaan Arab Saudi memberi inspirasi para pemikir Islam yang lain untuk melakukan pembaharuan pemikiran dalam memecahkan kebekuan dan tidur panjang umat islam dalam bidang pemikiran dan politik dan usaha melepaskan diri dan merdeka dari penjajahan.
Salah satu pemikir Islam yang menjadi “rising star” pada waktu itu adalah Syeikh Jamaluddin Al Afghani yang mempunyai konsep pemikiran “Pan Islamisme” yaitu usaha menyatukan kembali seluruh negara negara Islam yang sudah mulai berwawasan nasionalisme kebangsaan dalam satu Khilafah Islamiah seperti dahulu kala dan menerapkan syariat Islam sebagai hukum positip bernegara dan bermasyarakat.
Dalam bidang dakwah dan fikih sosial-kemasyarakatan muncul pemikir Mesir Syeikh Muhammad Abduh dan muridnya Syeikh Rasyid Ridlo yang memberikan wacana harokah (pergerakan) yang bergerak dalam bidang dakwah dan politik berupa amal jama’i yang mengorganisir kekuatan umat sebagai usaha memperbaiki keterpurukan umat dibawah tekanan penjajahan dan secara bertahap berusaha melepaskan diri dari penjajahan.
Ditempat yang berbeda yaitu di Pakistan muncul pemikiran yang sejalan dan dihembuskan oleh Syeikh Abul A’la Maududi yang intinya agar umat bersatu dalam amal jama’i yang terorganisir kemudian secara simultan melakukan dakwah, tarbiyah dan amar makruf nahi munkar. Pemikiran beliau banyak dituangkan dalam bentuk buku dan aktif memberi pengajian serta membentuk harokah Jamiat Al-Islami yang di kemudian hari menjadi partai politik yang membidani kelahiran Republik Pakistan terpisah dari India, namun setelah itu perkembangan harokah Jamiah Al- Islami tidak terlalu berkembang keluar dari anak benua India.
Di negara Mesir, pemikiran baru itu merupakan pembaharuan pemikiran yang selama ini beku dan terus bergulir dan berkembang hingga konsep itu direalisasikan oleh Imam Hasan Al Bana yang mendirikan harokah dakwah dan politik Ihwanul Muslimin.
Bermula dari pembicaraan dan diskusi Imam Hasan Al Bana dengan empat orang temannya yang bertekad untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan taqwa dan mereka berkomitmen dalam saling tolong menolong dalam semangat persaudaraan Islam. Mereka kemudian sering bertemu membentuk halaqoh dan melakukan diskusi membahas berbagai persoalan agama, perkembangan sosial kemasyarakatan dan kemaslahatan umat lainnya.
Beberapa orang akhirnya tertarik pada Halaqoh pengajian dan diskusi mereka dan akhirnya ikut bergabung dalam halaqoh itu. Anggota perkumpulan itu sangat antusias dalam melakukan dakwah langsung di masyarakat, bahkan mereka mendatangi kedai-kedai kopi dengan cara sopan dan santun mereka minta ijin kepada pemilik kedai untuk menyampaikan sedikit pengajian kepada pengunjung kedai menyampaikan dakwah Islam dan ajakan kembali kepada nilai-nilai luhur agama Islam.
Metode Dakwah mereka mulanya dianggap aneh dan tidak umum, yaitu memberikan pengajian singkat di kedai-kedai kopi dan tempat keramaian lainnya, tapi karena mereka menyampaikannya dengan sopan dan simpatik akhirnya banyak orang-orang terutama kaum muda yang tertarik dengan perkumpulan mereka dan ikut bergabung dalam halaqoh yang dipimpin Imam Hasan Al Bana.
Perkumpulan dan Halaqoh mereka semakin banyak anggotanya dan setiap anggota perkumpulan aktif menyampaikan dakwah dan pemikiran Imam Hasan Al-Bana dan konsep Harokah amal Jama’i dalam semangat persaudaraan Islam. Akhirnya perkumpulan ini mendeklarasikan diri sebagai Organisasi harokah Islamiah dengan nama IHWANUL MUSLIMIN dan menyepakati Imam Hasan Al Bana sebagai pemimpinnya.
Perjalanan Ihwanul Muslimin.
Imam Asy-Syahid Hasan al-Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906. Lahir di sebuah kampung di kawasan Buhairah, Mesir. Beliau tumbuh di dalam lingkungan yang taat beragama, yang menerapkan Islam secara nyata dalam seluruh aspek kehidupannya.
Pada usia 12 tahun, Hasan al-Banna telah menghafal separuh isi Al-qur’an.
Di samping belajar agama di rumah dan di masjid, ia belajar pada sekolah pemerintah, kemudian melanjutkan pelajarannya ke Dar al-’Ulum, Kairo dan tamat pada tahun 1927.
Setelah tamat dari Dar al-’Ulum, ia menjadi guru pada sebuah Sekolah Menengah (SMP) di Isma’iliyyah. Dari Isma’iliyyah inilah ia memulai aktivits keagamaannya di tengah-tengah masyarakat, terutama di warung-warung kopi di hadapan para karyawan Proyek Terusan Suez.
Setiap hari — seusai mengajar, ia mengunjungi warung kopi untuk berdialog dengan masyarakat. Malam harinya, ia salat berjamaah di masjid terdekat, dan kemudian seringkali melanjutkan pembicaraannya di warung kopi.
Pada masa-masa liburan panjang setiap musim panas, ia menghabiskan waktu bepergian ke berbagai kota dan desa di Mesir, untuk mengajar masyarakat di rumah, di atas kendaraan, di warung kopi, atau masjid. Tubuhnya yang kekar (sekalipun dengan postur yang agak pendek dibanding rata-rata orang Mesir), serta penampilannya yang menarik, dan lidahnya yang fasih, dan perilakunya yang simpatik memang mendukung Al-Banna untuk menjadi seorang public figure.
Pada bulan Dzul Qa’idah 1327 H/April 1928 M adalah bulan didirikannya cikal bakal gerakan Ihwanul muslimin
Dalam pertumbuhan awalnya, Al-Ihwan lebih memusatkan usaha untuk pembentukan kepribadian masyarakat. Ini terlihat dari beberapa prinsip yang diajarkan Al-Banna yang merupakan petunjuk harian Al-Ihwan. Prinsip-prinsip itu antara lain berbunyi: “Lakukanlah salat bila anda mendengar azan, bagaimana pun kondisi anda pada waktu itu. Baca Alquran, renungkan dan dengarkan, serta selalulah mengingat Allah. Jangan anda membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tak berguna.”

Selanjutnya, Al-Banna juga mengatakan: “Jangan banyak bersilat lidah dalam masalah apa pun, karena itu tidak bermanfaat. Jangan banyak berhura-hura dan bersantai, karena perjuangan bangsa perlu kesungguhan. Jauhilah membicarakan keburukan orang di belakangnya. Jangan mengejek organisasi-organisasi atau pergerakan-pergerakan dengan tidak adil. Berusahalah untuk selalu ramah bila anda bertemu teman-teman Al-Ihwan, sekalipun ia tidak membuat inisiatif, karena idiologi kita berdiri di atas tiang ilmu pengetahuan dan cinta kasih.Bantulah orang lain semaksimal mungkin agar ia dapat memanfaatkan waktunya, dan bila anda mempunyai proyek untuk diselesaikan, maka selesaikanlah proyek itu.”
Prinsip-prinsip tersebut tak lain adalah sebagian dari prinsip-prinsip Islam, yang disimpulkan dalam bahasa sederhana agar dapat dilaksanakan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Intinya adalah bagaimana seorang muslim dapat menjalankan ajaran Islam secara murni dan konsekuen dalam kehidupan modern.

Prinsip-prinsip itu dijalankan melalui jalur organisasi dari ranting, cabang, wilayah (yang tersebar di seluruh pelosok kota dan desa di Mesir), dan sampai ke pusat, yang secara organisatoris selalu dievaluasi dari waktu -waktu.
Di sini kelihatan sekali ciri pergerakan dari organisasi Al-Ihwan.

Setelah pemantapan kepribadian, maka program Al-Ihwan selanjutnya adalah pembentukan masyarakat Islam yang menjalankan syariat Islam. Bagi Al-Ihwan, Islam adalah jalan hidup menyangkut individu, masyarakat, negara, hubungan internasional dan seterusnya
. Al-Banna menegaskan, “Ia (Islam — Red) adalah sikap moral, kekuatan, kasih sayang dan keadilan. Ia adalah pengetahuan, hukum, ilmu dan pengadilan. Ia adalah materi, kekayaan, usaha dan kebutuhan. Ia adalah jihad dan dakwah atau antara dan gagasan. Ia juga akidah yang benar dan ibadah yang betul, ibarat satu koin dengan dua wajah.”

Seperti program pembentukan kepribadian, maka Al-Ihwan juga bertekad untuk melaksanakan program sosial politik secara bertahap. Dalam Anggaran Dasar (Nizam Asasi) Al-Ihwan, antara lain menyebutkan: Al-Ihwan senantiasa mengutamakan kemajuan bertahap dalam pembangunan, usaha produktif, dan kerja sama dengan para pecinta kebaikan dan kebenaran.
Al-Ihwan tak ingin melukai siapa pun, apa pun agama, ras dan kebangsaannya.
Kegiatan Al-Ihwan mulai menarik perhatian pemerintah dan dunia luar, setelah mereka memindahkan pusat kegiatan dari Ismailiyah ke Kairo pada tahun 1932. Apalagi setelah Al-Banna mengirim surat kepada raja Mesir, Faruq (1936) dan sejumlah menteri kabinet, agar melaksanakan syariat Islam dan meninggalkan cara hidup yang tidak Islami.
Tahun 1352 H/1933 M beliau menerbitkan sebuah berita pekanan Ihwan yang dipimpin oleh Ustadz Muhibuddin Khatib (1303 - 1389 H/1886 - 1969 M). Kemudian tahun 1357 H/1938 M terbit majalah al-Nadzir. Lalu menyusul al-Syihab, tahun 1367 H/1947 M. Seterusnya majalah dan berita-berita Ihwan terbit secara teratur.
Situasi di Mesir pada 1930-1940-an, seperti kebobrokan moral, penetrasi budaya asing, pemerintah yang tidak tegas, dominasi Inggris yang begitu kuat dalam negeri, dominasi perusahaan -perusahaan asing, dan lain-lain, telah bersaham dalam membentuk sikap militansi Al-ihwan. Sebagai gerakan dan idiologi, sikap Al-ihwan ini berhubungan erat dengan krisis intelektual, sosial, ekonomi dan politik yang melanda Mesir sejak abad ke-19.Krisis-krisis ini sebagiannya adalah hasil dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh para penguasa Mesir sebelum ini, dalam bidang pendidikan, hukum dan politik melalui suatu proses westernisasi. Negara sejak abad 19 mengirim misi pendidikan ke luar negeri dan mengundang perancang dan tenaga ahli Barat ke dalam negeri. Sistem pendidikan Barat yang sekuler barangsur-angsur menggeser pendidikan tradisional, dan hukum sekular Barat menggantikan hukum syariat yang telah berlaku selama berabad-abad.
Politik pemerintah semakin cenderung untuk memelihara kepentingan Barat. Terusan Suez sebagai jalan perhubungan penting antara Barat dan Timur berada di tangan asing. Di Palestina kekuatan Zionis internasional semakin mengkristal untuk mendirikan negara nasional Yahudi yang mengancam eksistensi umat Islam dan bangsa Arab. Sementara itu, para penguasa Arab lebih banyak membuat kebijakan yang dapat mempertahankan kepentingan mereka daripada kepentingan rakyat. Di pihak lain, Al-Azhar sebagai lembaga keagamaan tertua di dunia Islam bersikap melempem dan sulit untuk dijadikan panutan bagi sebuah pembaruan yang sejalan dengan semangat Islam.
Sebagai organisasi pergerakan, Al-ihwan tak mau membiarkan kondisi yang tidak sejalan dengan tuntutan Islam itu berjalan terus. Melalui media dan sarana yang dimilikinya (surat kabar, majalah, pamlet, surat terbuka, pidato, khutbah, rapat umum dan lain-lain), organisasi ini memberikan imbauannya kepada rakyat dan pemerintah agar mengambil garis Islam dalam semua kebijakan.
Tahun 1948 Ihwan turut serta dalam perang Palestina. Mereka masuk dalam angkatan perang khusus. Peristiwa ini telah direkam secara rinci oleh ustadz Kamil Syarif dalam bukunya ‘Ihwanul muslimin fi Harbi Falasthin.
Kalau kemudian pemerintah melihat Al-ihwan sebagai ancaman, bukan semata karena imbauan kebaikan itu, tapi lebih karena sebagai organiasasi massa, Al-ihwan dapat memaksakan kehendaknya. Usaha yang dilakukannya bukan hanya bidang penerangan, pendidikan dan kebajikan semata, tetapi juga mencakup usaha -usaha ekonomi yang menjadi urat nadi organisasi, latihan bela diri dan bahkan pasukan para militer. Dalam perang melawan sekutu Inggris-Israel pada tahun 1948, misalnya, pasukan sukarelawan Al-ihwan terbukti tangguh dalam mematahkan kekuatan musuh.
Pada tanggal 8 Nopember 1948, Muhammad Fahmi Nagrasyi, perdana menteri Mesir waktu itu, membekukan gerakan Ihwan dan menyita harta kekayaannya serta menangkap tokoh-tokohnya.
Desember 1948, Naqrasyi diculik. Orang-orang Ihwan dituduh sebagai pelaku penculikan dan pembunuhan tersebut. Ketika jenazah Naqrasyi di usung, pendukung-pendukungnya berteriak-teriak, “Kepala Naqrasyi harus dibayar dengan kepala Hasan al-Banna.”
Kegiatan dan kejayaan yang dicapai al-ihwan al-Muslimin tidak disenangi oleh kerajaan dan pihak Inggris. Negara barat mendesak kerajaan Mesir supaya membubarkan Jamaah ihwanul Muslimin. Pasukan tentara al-ihwan yang berperang di Palestina telah menunjukkan keberanian dan komitmen yang luar biasa. Hal itu Justru menjadikan kegamangan dan kekhawatiran politik musuh.
Pada bulan November 1948, gencatan senjata telah diadakan Palestina. Pada 8 November 1948, Perdana Menteri Mesir mendeklarasikan pembubaran al-ihwan. Unit-unit tentara Mesir dan tentara al-ihwan yang berjuang di Palestina itu dipanggil balik. Berbagai-bagai tuduhan dan fitnah dilemparkan ke atas al-ihwan. Anggota-anggota al-ihwan ditangkap, dimasukkan ke dalam penjara dan mereka diseksa dengan teruk, malah ada yang dibunuh. Tindakan tersebut telah melumpuhkan sama sekali kegiatan al-lhwan.
Pada 12 Februari 1949 jam 5 petang, Hasan al-Banna bersama iparnya Abdul Karim Mansur, seorang pejabat, berada di rumah pejabat tersebut. Mereka menunggu Menteri Zaki Ali Basya yang dikatakan mewakili kerajaan untuk berunding, tetapi dia tak kunjung tiba. Akhirnya setelah selesai menunaikan solat Isya’ mereka memanggil taksi untuk pulang. Ketika baru saja menaiki teksi yang dipanggil, dua orang memakai penutup
kepala menuju ke arah taksi dan salah seorang daripada mereka terus melepaskan tembakan pistol dan kedua-dua mereka terkena tembakan itu.
Iparnya itu tidak dapat bergerak akibat terkena tembakan tersebut.Hasan al Banna walaupun terkena tujuh tebakan , beliau masih mampu berjalan masuk semula ke pejabat Jam’iyyah al Syubban al-Muslimin memanggil ambulan untuk membawa mereka ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit Qasral ‘Aini, mereka dikawal rapi oleh Jenderal Muhammad al-Jazzar dan tidak melarang memberikan perawatan kepada Hasan al-Banna. Pada pukul 12.50 tengah malam, Imam Asy Syahid Hasan al-Banna menghembuskan nafas yang terakhir akibat tumpahan darah yang banyak pada usia 43 tahun.

Setelah peristiwa itu tokoh-tokoh Al-ihwan ditangkap, aset organisasi disita, dan berbagai media massa mereka diberangus. Kejadian seperti itu terjadi berulang kali. Dari tahun 1940 sampai Desember 1948, pergerakan ini dilarang seutuhnya.
Tahun 1950 berdasarkan keputusan Dewan Tertinggi Negara, Ihwan direhabilitasi. Ketika itu Mesir diperintah oleh kabinet al-Nuhas. Dewan tersebut juga memutuskan bahwa pembekuan Ihwan selain tidak sah, juga inkonstitusional.
Tahun 1950 ustadz Hasan al-Hudhaibi (1306 -1393 H/1891 - 1973 M), terpilih menjadi Mursyid ‘Al-Mahdi Ihwanul muslimin. Ia adalah salah seorang tokoh kehakiman Mesir. Ia juga berkali-kali ditangkap. Tahun 1954, ia divonis hukuman mati, tetapi kemudian diringankan menjadi seumur hidup. Tahun 1971 ia dibebaskan terakhir kalinya.
Oktober 1951 konflik antara Mesir dan Inggris semakin memuncak. Ihwan melancarkan perang urat saraf melawan Inggris di Terusan suez. Peristiwa ini telah direkam oleh Kamil Syarif dalam bukunya ‘Al-Muqawamat al-Sirriyyah fi Qanat Suwes.
Tanggal 23 Juli 1952, pasukan Mesir di bawah pimpinan Muhammad Najib, bekerja sama dengan Ihwan melancarkan Revolusi Juli. Tetapi kemudian Ihwan menolak kerja sama dalam pemerintahan, karena mereka mempunyai pendapat dan pandangan yang jelas tentang metode revolusi.
Jamal Abdul nashir menganggap penolakan tersebut sebagai penolakan terhadap mandat revolusi. Kemudian kedua belah pihak terlibat serangkaian konflik dan permusuhan yang semakin hari semakin tajam. Akibatnya, tahun 1954, pihak pemerintah melakukan penangkapan besar-besaran terhadap anggota Ihwan dan beribu-ribu orang dijebloskan ke dalam penjara.
Pada mulanya, Jamal Abdul Nasir dan Anwar Sadat sendiri adalah termasuk aktivis Al-ihwan. Namun kemesraan antara Al-ihwan dan Nasir serta Sadat segera berakhir, tak lama setelah yang pertama menjadi presiden. Di bawah pemerintahan Jamal Abdul Nasir, Al-ihwan mengalami penderitaan kembali. Para pengikutnya dipenjarakan dan beberapa di antaranya bahkan ada yang digantung. Buku-buku dan penerbitan mereka dilarang terbit.
Alasan pemerintah, karena orang Ihwan telah berupaya memusuhi dan mengancam kehidupan Jamal Abdul nashir di lapangan Mansyiyyah, Iskandariyyah. Bahkan pemerintah Mesir telah menghukum mati 6 anggota Ihwan.1. Abdulqadir Audah
2. Muhammad Farghali
3. Yusuf Thal’at
4. Handawi Duwair
5. Ibrahim Thayyib
6. Muhammad Abdullathif

Tahun 1965 - 1966 bentrokan antara Ihwan dan pemerintah Mesir terulang kembali untuk kedua kalinya. Pemerintah kembali melakukan penangkapan besar-besaran, melakukan penyiksaan serta memenjarakan anggota Ihwan. Bahkan tiga orang di antarannya telah dihukum gantung, yaitu :
Sayyid Quthb (1324 - 1387 H/1906 - 1966 M). Ia termasuk pemikir Ihwan nomor dua setelah Hasan al-Banna. Dan termasuk salah seorang tokoh Islam di zaman modern ini. Ditangkap tahun 1954 M dan disekap di dalam penjara selama 10 tahun. Tahun 1964 ia dikeluarkan dari penjara atas desakan presiden Irak, Abdussalam Arif. Namun tak lama kemudian ia diculik kembali untuk menghadapi hukuman mati. Demikian juga dengan Yusuf Hawasi dan
Abdulfattah Isma’il
Sejak itu Ihwan bergerak secara rahasia sampai Jamal Abdul nashir meninggal dunia 28 September 1970. Ketika Anwar Sadat berkuasa, orang-orang Ihwan mulai di lepas secara bertahap.
Akibat dari kondisi yang kurang menguntungkan itu, beberapa tokoh Al-ihwan banyak yang terpaksa lari ke luar negeri. Ada yang ke negara-negara Arab dan lainnya ke Eropa dan Amerika. Namun di mana pun mereka berada, mereka tidak melupakan perjuangan organisasi dan selalu melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan kondisi yang ada.
Dari situ, meski di dalam negeri (Mesir) Al-ihwan banyak mengalami hambatan, gagasan Al-ihwan tetap berkembang. Apalagi banyak di kalangan idiolog-idiolog Al-ihwan yang berbakat menulis dalam berbagai bidang. Sebut, misalnya ‘Audah, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Muhammad Al-Ghazali, Abdullah As-Samman, As-Siba’i, Mushthafa Ramadan, Fathi Yakan dan lain-lain.
Kemudian muncul dialog generasi kedua yang lebih berbentuk akademis semisal Yusuf Al-Qardhawi, ‘Isa ‘Abduh, Al-Jerisyi, At-Turabi, Asy-Syalabi dan seterusnya. Karya-karya mereka banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia. Dengan demikian, Al-ihwan telah memberikan sahamnya untuk sebuah pemahaman Islam pergerakan di seluruh dunia.
Sepeninggal Hudhaibi, Umar Tilmisani (1904?1986 M) terpilih menjadi Mursyid. Di bawah pimpinannya Ihwan menuntut hak-hak jama’ah secara utuh dan mengembalikan hak milik jama’ah yang dibekukan oleh Jamal Abdul nashir. Tilmisani menempuh jalan tidak konfrontatif dengan penguasa dan berkali-kali beliau menyerukan, “Bergeraklah dengan bijak dan hindarilah kekerasan dan ekstrimisme.”
Di luar Mesir banyak tikoh-tokoh Ihwan yang muncul, antara lain :
Syaikh Muhammad Mahmud Shawwaf, pendiri dan pengawas umum Ihwan di Irak.
Dr. Mushthafa al-Siba’i, pengawas umum pertama Ihwan di Suriah.
Gerakan Ihwan di Yordania berdiri tanggal 13 Ramadhan 1364 H. pemimpin pertamanya ialah Syaikh Abdullathif Abu Qurrah.

Di beberapa negara Arab pada waktu ini, seperti Sudan, Yordania, dan Palestina, kegiatan politis Islam Al-ihwan tampak menonjol. Di Sudan, berkat jasa Dr Hasan At-Turabi, idiologi terkenal Al-ihwan, beberapa program Islamisasi telah dapat dilaksanakan dalam negara, sekalipun mendapat tekanan yang berat dari negara-negara Barat, dan bahkan Mesir sendiri sebagai negara tetangga dan tanah kelahiran Al-Banna.
Di Yordania beberapa wakil Al-ihwan dapat duduk dalam parlemen dan beberapa posisi penting dalam pemerintahan. Di Palestina, di balik gerakan Al-Hammas yang menantang negara sekular yang ingin didirikan oleh Arafat juga dikabarkan berdiri aktivis -aktivis Al-ihwan.
Ihwanul Muslimin sebenarnya tidak lain dari sebuah organisasi pergerakan Islam yang berusaha menerapkan cara-cara hidup yang Islami, terutama kehidupan sosial-politik, melalui sebuah program yang selalu direvisi dari waktu ke waktu. Karena dominasi kebudayaan sekular yang begitu besar di dunia Islam, termasuk sekularisasi dalam pemerintahan, organisasi ini sering berada dalam konflik dengan kjekuatan-kekuatan sekular yang ada dalam masyarakat. Teologi mereka yang tidak memisahkan antara ijtihad dan jihad, agama dan politik, membuat nama mereka sering dihubungkan kepada aksi politik dan tindak kekerasan, baik secara sah atau tidak.

PEMIKIRAN DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA

Pemahaman Ihwan terhadap Islam bersifat universal, tidak mengenal adanya pemisahan antara satu aspek dengan aspek lainnya.

Kaitanya dengan dakwah Ihwan, Syaikh Hasan al-Banna mengatakan, “Gerakan Ihwan adalah dakwah salafiyah, thariqah sunniyah, haqiqah shufiyyah, lembaga politik, klub olah raga, lembaga ilmiah dan kebudayaan, perserikatan ekonomi dan pemikiran sosial.”

Selanjutnya Syaikh Hasan al-Banna mengatakan bahwa ciri gerakan Ihwan adalah:1. Jauh dari sumber pertentangan.
2. Jauh dari pengaruh riya dan kesombongan.
3. Jauh dari partai politik dan lembaga-lembaga politik.
4. Memperhatikan kaderisasi dan bertahap dalam melangkah.
5. Lebih mengutamakan aspek aspek amaliyah produktif dari pada propaganda dan reklame.
6. Memberi perhatian sangat serius kepada para pemuda.
7. Cepat tersebar di kampung-kampung dan dikota-kota.

Selain itu Syaikh menyebutkan karakteristik Ihwan sebagai berikut :
- Gerakan Ihwan adalah gerakan Rabbaniyyah. Sebab azas yang menjadi poros sasarannya ialah mendekatkan manusia kepada Rabb-nya.
- Gerakan Ihwan bersifat ‘alamiyah (Internasional). Sebab arah gerakan ditujukan kepada semua umat manusia.
- Gerakan Ihwan bersifat Islami. Sebab orientasi dan nisbatnya hanya kepada Islam.

Selain itu juga Syaikh menetapkan tingkatan amal yang merupakan konsekuensi logis setiap anggota, yaitu :
1. Memperbaiki diri, sehingga menjadi pribadi yang kuat fisik, teguh dlam berakhlak, luas dalam berfikir, mampu mencari nafkah, lurus berakidah dan benar dalam beribadah.
2. Membentuk rumah tangga islami.
3. Memotifasi masyarakat untuk menyebarkan kebaikan, memerangi kemungkaran dan kerusakan.
4. Memerdekakan negara dengan membersihkan rakyatnyas dari berbagai bentuk kekuasaan asing kuffar di bidang poplitik, ekonomi ataupun mental spiritual.
5. Memperbaiki pemerintahan sehingga benar-benar menjadi pemerintahan yang islami.
6. Mengembalikan eksistensi negara-negara Islam dengan memerdekakan negerinya dan menghidupkan kembali keagungannya.
7. Menjadi guru dunia dengan menyebarkan Islam ke tengah-tengah umat manusia, sehingga tidak ada fitnah lagi dan Dien hanya benar-benar milik Allah.
“Dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan Nur (Dien)-Nya.” (Q.S. at-Taubah :32).

Tentang tahapan dakwah Hasan al-Banna membaginya menjadi tiga tahap :
· Tahap pengenalan.
· Tahap pembentukan.
· Tahap pelaksanakan.

Dalam Risalah Ta’alim, Hasan al-Banna berkata, “Rukun Bai’at kita ada sepuluh. Karena itu hafallah baik-baik. Yaitu: Faham, Ikhlas, Amal, Jihad, Berkorban, Tetap pada pendirian, Tulus, Ukhuwah dan percaya diri.” Kemudian beliau berkata, “Wahai saudaraku yang sejati! Ini merupakan garis besar dakwah Anda. Anda dapat menyimpulkan prinsip-prinsip tersebut menjadi
lima kalimat berikut :
1. Allah tujuan kami.
2. Rasulullah SAW. teladan kami.
3. Al-Qur’an dustur (undang-undang)kami.
4. Jihad jalan kami.
5. Mati sahid dalam fisabilillah adalah puncak cita-cita kami yang tertinggi.
Ciri-cirinya dapat disimpulkan menjadi lima kata, yaitu : sederhana, membaca Al-Qur’an, shalat, sikap kesatria dan akhlaq.”
Ustadz Sayyid Quthb, dalam bukunya Khashaish al-Tashawwur al-Islami wa Muqawwimatuhu, memberikan gambaran tentang pemahamannya dan pemahaman Ihwan. Karakteristik konsep Islam itu berazaskan kepada :
1. Rabbaniyyah
2. Tetap
3. Seimbang
4. Positif
5.
Realistik
6. Tauhid.
Setiap karakteristik diberi penjelasan tersendiri secara gamblang dan luas.
Lambang Ihwanul muslimin adalah dua bilah pedang menyilang melingkari Al-Qur’an, ayat Al-Qur’an Wa Uidlu dan tiga kata: haq (kebenaran), quwwah(kekuatan) dan hurriyyah (kemerdekaan).

AKAR PEMIKIRAN DAN SIFAT IDIOLOGINYA
Ihwanul muslimin telah mengadopsi dakwah salafiyyah menjadi gerakan dakwahnya. Ia menekankan kepada pentingnya penelitian dan pembahasan terhadap dalil serta pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusrikan untuk mencapai kesempurnaan tauhid.
Dakwah Ihwan banyak dipengaruhi oleh Syaikh Abdulwahhab, Sanusiyyah dan Rasyid Ridha. Pada umumnya dakwah tersebut merupakan kelanjutan dari Madrasah Ibnu Taimiyyah (wafat 702 H/1328 M), yang juga merupakan kelanjutan Madrasah Imam Ahmad bin Hambal.
Ihwan merupakan tashawwuf sebagai sarana pendidikan dan peningkatan jiwa seperti pernah dilakukan para ahli tashawwuf terdahulu yang aqidahnya benar dan jauh dri segala bentuk bid’ah, khurafat, menghina diri dan sifat negatif.
Hasan al-Banna merangkum semua pemahaman tersebut dalam dakwahnya. Ditambah pula dengan konsepsi-konsepsi yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan lingkungan. Sehingga dakwahnya mampu menghadapi berbagai arus yang melanda Mesir dan kawasan lain.
PENYEBARAN DAN KAWASAN PENGARUHNYA
Gerakan Ihwan dimulai di Isma’iliyyah kemudian beralih ke Kairo. Dari Kairo tersebar ke berbagai pelosok dan kota do Mesir. Akhir tahun 40-an, cabang Ihwan di Mesir sudah mencapai 3000 cabang. Tiap cabang memiliki anggota yang cukup banyak.
Gerakan tersebut kemudian meluas ke negara-negara Arab. Ia berdiri kukuh di Suriah, Palestina, Yordania, libanon, Irak, Yaman dan lain-lain. Dewasa ini anggota dan simpatisannya tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia aktivis-aktivis Ihwanul Muslimin mendirikan Partai Keadilan Sejatera (PKS) atau paling tidak menerapkan pemikiran dan metode dakwah dalam harokahnya.
Salah satu pencapaian Al-Ihwan yang paling signifikan adalah terbentuknya generasi baru Muslim yang memahami Islam secara benar, meyakininya secara mendalam, mempraktikkannya dalam diri sendiri dan keluarganya, berjuang meninggikan kalimatnya, menerapkan syari’atnya, dan menyatukan umatnya.

B. Karakteristik

1. Mempunyai peraturan dan struktur organisai yang baku.
2. Aktif dalam amar makruf nahi mungkar.
3. Fikihnya mengikuti mazhab Syafii tapi tidak mengikat ke anggotanya.
4. Tidak puritan dan adaptif dengan masalah aktual progressif-kekinian.
5. System Tarbiyah kadernya telah mapan dan baku.
6. Menerapkan beberapa keluarga menjadi satu ikatan Usroh yang merupakan sel terkecil dari Harokah.
7. Memasuki wilayah politik.
8. Seterateginya elastis, menjadi gerakan bawah tanah ketika tertekan.
9. Bergabung dengan parlemen
10. Toleran dalam masalah ikhtilaf.
11. Tidak ofensif menyerang pemikiran harokah yang lain.
12. Melakukan aktivitas hampir di seluruh aspek sosial-kemasyarakatan.

C. Kiprahnya

1. Mendirikan Percetakan dan penerbitan.
2. Mendirikan badan / yasasan sosial kemasyarakatan.
3. Aktif dalam tarbiyah pembinaan kader melalui Halaqoh-Usroh.
4. Aktif dalam amar makruf nahi munkar..
5. Aktif memberikan ceramah/seminar/pengajian.
6. Mendirikan Partai Politik dan ikut serta dalam pemilu.

IV. Hizbut Tahrir (Partai Pembebas)

A. Latar Belakang Sejarahnya
Hizbut Tahrir didirikan di Al-Quds pada tahun 1372 H (1953 M) oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama, pemikir, politisi dan pernah menjadi Qadhi (hakim) di pengadilan Syariat di Al-Quds.
Sebagian kalangan mengatakan bahwa pendiri Hisbut Tahrir pada mulanya termasuk aktivis atau simpatisan Ihwanul Muslimin. Setelah terbunuhnya Imam Hasan Al Bana, pemimpin Ihwanul Muslimin pada tahun 1949 boleh dikatakan aktivitas Ihwanul Muslimin mengalami stagnasi, apalagi sebagian besar tokoh-tokoh utama Ihwan banyak yang ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Mesir. Tekanan hebat yang dilakukan oleh pemerintah Mesir membuat Ihwan merubah kebijaksanaannya yaitu lebih lunak dan bergerak dibawah tanah.
Melunaknya sikap Ihwan dan aktivitasnya yang bergerak dibawah tanah kurang disetujui oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, maka beliau pun memutuskan mendirikan Hizbut Tahrir yang garis kebijaksanannya terang-terangan dan tegas menyatakan diri sebagai partai politik yang bertujuan untuk membebaskan negara-negara Islam dari kolonialisme-penjajahan bangsa-bangsa eropah, membebaskan Baitul Makdis dari cengkeraman Zionis Israel, membebaskan negeri-negeri Islam dari pemerintahan sekuler, dari pemerintahan monarki regional menuju Khilafah Islam international.
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah Islamiah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan.
Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya.
Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah SWT dapat diberlakukan kembali.
TUJUAN HIZBUT TAHRIR
Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum muslimin kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Di mana seluruh kegiatan kehidupannya diatur sesuai dengan hukum-hukum syara’. Pandangan hidup yang akan menjadi pedoman adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islam, yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat dan dibai’at oleh kaum muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Di samping itu Hizbut Tahrir bertujuan membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang cemerlang. Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini, dan negara Khilafah akan kembali menjadi negara nomor satu di dunia –sebagaimana yang terjadi pada masa silam– serta memimpin dunia sesuai dengan hukum-hukum Islam.
Hizbut Tahrir juga bertujuan untuk menyampaikan hidayah (petunjuk syari’at) bagi umat manusia, memimpin umat Islam untuk menentang kekufuran beserta segala ide dan peraturan kufur, sehingga Islam dapat menyelimuti bumi.
KEGIATAN HIZBUT TAHRIR
Kegiatan Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam untuk mengubah situasi masyarakat yang rusak menjadi masyarakat Islam. Hal ini dilakukan dengan mengubah ide-ide rusak yang ada menjadi ide-ide Islam, sehingga ide-ide ini menjadi opini umum di tengah masyarakat serta menjadi persepsi bagi mereka. Selanjutnya persepsi ini akan mendorong mereka untuk merealisasikan dan menerapkannya sesuai dengan tuntutan Islam.
Juga dengan mengubah perasaan yang dimiliki anggota masyarakat menjadi perasaan Islam –yakni ridla terhadap apa yang diridlai Allah, marah dan benci terhadap apa yang dimurkai dan dibenci oleh Allah– serta mengubah hubungan/ interaksi yang ada dalam masyarakat menjadi hubungan/ interaksi yang Islami, yang berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya.
Seluruh kegiatan yang dilakukan Hizbut Tahrir adalah kegiatan yang bersifat politik, di mana Hizbut Tahrir memperhatikan urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar’i, karena politik adalah mengurus dan memelihara urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya.
Kegiatan-kegiatan yang bersifat politik ini tampak jelas dalam kegiatannya mendidik dan membina umat dengan tsaqafah (kebudayaan) Islam, meleburnya dengan Islam, membebaskannya dari aqidah-aqidah yang rusak, pemikiran-pemikiran yang salah, serta persepsi-persepsi yang keliru, sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan kufur.
Kegiatan politik ini tampak juga dalam aspek pergolakan pemikiran (ash shiro’ul fikri) dan dalam perjuangan politiknya (al kifahus siyasi). Pergolakan pemikiran tersebut terlihat dalam penentangannya terhadap ide-ide dan aturan-aturan kufur. Kegiatan ini nampak pula dalam penentangannya terhadap ide-ide yang salah, aqidah-aqidah yang rusak, atau persepsi-persepsi yang keliru, dengan cara menjelaskan kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, dan menjelaskan ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut.
Adapun perjuangan politiknya, terlihat dari penentang-annya terhadap kaum kafir imperialis untuk memerdekakan umat dari belenggu dominasinya, membebaskan umat dari cengkeraman pengaruhnya, serta mencerabut akar-akarnya yang berupa pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam.
Perjuangan politik ini juga tampak jelas dalam kegiatannya menentang para penguasa, mengungkapkan pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya tatkala mereka mengabaikan hak-hak umat, tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, melalaikan salah satu urusan umat, atau menyalahi hukum-hukum Islam.
Seluruh kegiatan politik tersebut dilakukan tanpa menggunakan caca-cara kekerasan (fisik/senjata). Akan tetapi sebatas aktivitas menyampaikan ide-ide (konsep-konsep) dengan lisan atau tulisan, sesuai jejak dakwah yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Jadi kegiatan Hizbut Tahrir secara keseluruhan adalah kegiatan yang bersifat politik, baik sebelum maupun sesudah mengambilalih pemerintahan (melalui umat).
Kegiatan Hizbut Tahrir bukan di bidang pendidikan, karena ia bukanlah madrasah (sekolah). Begitu pula seruannya tidak hanya bersifat nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk. Akan tetapi kegiatannya bersifat politik, dengan cara mengemukakan ide-ide (konsep-konsep) Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, diemban, dan diwujudkan dalam kenyataan hidup dan pemerintahan.
Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan dalam kehidupan dan agar Aqidah Islamiyah dapat menjadi dasar negara dan dasar konstitusi serta undang-undang. Karena Aqidah Islamiyah adalah aqidah aqliyah (aqidah yang menjadi dasar pemikiran) dan aqidah siyasiyah (aqidah yang menjadi dasar politik) yang melahirkan aturan untuk memecahkan problem manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, dan lain-lain.
METODE DAKWAH HIZBUT TAHRIR
Metode yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam mengemban dakwah adalah hukum-hukum syara’, yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah SAW, sebab thariqah itu wajib diikuti. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (QS Al Ahzab : 21)
“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS Ali Imran : 31)
“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS Al Hasyr : 7)
Dan banyak lagi ayat lain yang menunjukkan wajibnya mengikuti perjalanan dakwah Rasulullah SAW, menjadikan beliau suri teladan, dan mengambil ketentuan hukum dari beliau.
Berhubung kaum muslimin saat ini hidup di Darul Kufur –karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah SWT– maka keadaan negeri mereka serupa dengan Makkah ketika Rasulullah SAW diutus (menyampaikan risalah Islam). Untuk itu fase Makkah wajib dijadikan sebagai tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan mensuriteladani Rasulullah SAW.
Dengan mendalami sirah Rasulullah SAW di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan suatu Daulah Islam di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan jelas tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah SAW inilah Hizbut Tahrir mengambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini, karena Hizbut Tahrir mensuriteladani kegiatan-kegiatan yang dilakukan Rasululah SAW dalam seluruh tahapan perjalanan dakwahnya.
Berdasarkan sirah Rasulullah SAW tersebut, Hizbut Tahrir menetapkan metode perjalanan dakwahnya dalam 3 (tiga) tahapan berikut :
Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir, dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai.
Kedua, Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan.
Ketiga, Tahapan Pertarungan Pemikiran untuk menentang kepercayaan/ideologi, aturan dan pemikiran kufur. Menentang segala bentuk akidah yang rusak, pemikiran keliru, pemahaman yang salah dan sesat dengan cara mengungkapkan kepalsuan, kekeliruan dan kontradiksi dengan Islam sekaligus membersihkan umat dari segala bentuk pengaruh dan implikasinya.
Keempat, Tahapan Perjuangan Politik menghadapi negara-negara kafir imperialis yang menguasai dan mendominasi negeri-negeri Islam, menghadapi segala bentuk penjajahan, baik itu berupa pemikiran, politik, ekonomi, militer dan mengungkap makar sekaligus membongkar konspirasi negara-negara kafir. Perjuangan politik juga dilakukan dengan menentang para penguasa negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam yang lain dengan cara membongkar kejahatan dan kebobrokan mereka, menyampaikan nasehat, kritik dan mencoba mengubah perilaku mereka setiap kali memakan, tidak menunaikan hak-hak umat, melalaikan urusan umat dan meyimpang dari hukum syariat Islam.
Kelima, Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Khilafah Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dan kemudian berkhidmat melayani kemaslahatan umat sesuai dengan hukum syariat Islam.
KEANGGOTAAN HIZBUT TAHRIR
Hizbut Tahrir menerima keanggotaan setiap orang Islam, baik laki-laki maupun wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih ataupun hitam. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh kaum muslimin dan menyeru mereka untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh aturan-aturan Islam, tanpa memandang lagi kebangsaan, warna kulit, maupun madzhab mereka. Hizbut Tahrir melihat semuanya dari pandangan Islam.
Cara mengikat individu-individu ke dalam Hizbut Tahrir adalah dengan memeluk Aqidah Islamiyah, matang dalam Tsaqafah Hizbut Tahrir, serta mengambil dan menetapkan ide-ide dan pendapat-pendapat Hizbut Tahrir. Dia sendirilah yang mengharuskan dirinya menjadi anggota Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya ia melibatkan dirinya dengan Hizbut Tahrir; ketika dakwah telah berinteraksi dengannya dan ketika dia telah mengambil dan menetapkan ide-ide serta persepsi-persepsi Hizbut Tahrir. Jadi ikatan yang dapat mengikat anggota Hizbut Tahrir adalah Aqidah Islamiyah dan Tsaqafah Hizbut Tahrir yang terlahir dari aqidah ini. Halaqah-halaqah (pembinaan) wanita dalam Hizbut Tahrir terpisah dengan halaqah laki-laki. Yang memimpin halaqah-halaqah wanita adalah para suami, mahramnya, atau para wanita

B. Karakteristik

  1. Mempunyai peraturan dan struktur organisai yang baku.
  2. Aktif dalam amar makruf nahi mungkar.
  3. Tidak puritan dan adaptif dengan masalah aktual progresif-kekinian.
  4. System tarbiyah kadernya telah mapan dan baku.
  5. Memasuki wilayah politik.
  6. Bersikap keras dalam meng kritisi pemerintahan.
  7. Tidak Bergabung dengan parlemen
  8. Mengeluarkan fatwa-fatwa tentang masalah progresif kekinian.
  9. Tidak ofensif menyerang pemikiran harokah yang lain.

C. Kiprahnya

  1. Mendirikan Percetakan dan penerbitan.
  2. Aktif menulis artikel dan buku buku.
  3. Aktif dalam tarbiyah pembinaan kader melalui Halaqoh Hizb.
  4. Aktif dalam amar makruf nahi munkar.
  5. Aktif memberikan ceramah/seminar/pengajian.
  6. Mendirikan Partai Politik (global) tapi tidak ikut serta dalam pemilu.