Sabtu, 21 Juli 2012

Pengertian Tentang Bid'ah

PENGERTIAN BID’AH MACAM-MACAM BID’AH DAN HUKUM-HUKUMNYA
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
PENGERTIAN BID’AH
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.
Badiiu’ as-samaawaati wal ardli
“Artinya : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]
Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah.
Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli
“Artinya : Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [Al-Ahqaf : 9].
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah”, maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.
Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :
[1] Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.
[2] Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak”.
MACAM-MACAM BID’AH
Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
[1] Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
[2] Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
[a]. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
[b]. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
[c]. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[d]. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.
HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
“Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak”.
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak.
Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).
Catatan :
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : “Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak”. Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.
Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata : “Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya”.
Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.
Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.
Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.
Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.
[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]

Beberapa amalan bid'ah di bulan Ramadhan

"Beberapa amalan Bid"ah di Bulan Ramadhan"

Ditulis Oleh: Ahdan Ramdani

Dalam menyambut bulan Ramadhan kali ini, ada beberapa hal yang mesti kita ketahui berkenaan aktivitas ibadah yang akan kita lakukan. Sebagai kaum muslimin yang mencintai sunnah Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa salam, kita wajib mengetahui mana saja ibadah yang sesuai sunnah dan ibadah apa saja yang menyelisihi sunnah. Karena Ibadah itu haruslah sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa salam, dan hal itu juga menjadi sebab diterimanya sebuah amal. Sebelum kita bahas lebih lanjut, terlebih dulu kita ketahui dua syarat diterimanya suatu ibadah.

Dua Syarat Diterimanya Suatu Ibadah

Ibadah diterima dengan dua syarat,

1.      Pertama, ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala
2.      Kedua, sesuai dengan sunnah Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa salam

Mengenai rasa ikhlas, Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda:

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena  Allah dan Rasul-Nya (ikhlas), maka hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju.”[1]

Mengenai diharuskannya ittiba’ (mengikuti sunnah) dan larangan ibtida’ (menyelisihi sunnah), Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru (bid’ah) dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[2]

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”[3]

Saya berkata: Dua hadits diatas, yang pertama hadits yang diterima dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang merupakan peringatan keras dari Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa salam kepada orang yang membuat amalan bid’ah, dia sengaja membuat amalan-amalan baru, dengan maksud untuk diikuti orang ataupun tidak. Sedangkan hadits kedua merupakan ancaman bagi orang yang mencontoh dan mengamalkan bid’ah yang tidak dibuat olehnya, dengan kata lain, orang tersebut hanyalah ikut-ikutan mengamalkan. Ini memberi kita pemahaman bahwa baik orang yang mempelopori bid’ah dan orang yang mengikuti bid’ah tetap saja diperingatkan oleh Rasulallah shalallahu ‘alaih wa salam bahwa amalan mereka mardud (tertolak).

Mengenai jeleknya berbuat bid’ah juga pernah diucapkan oleh salah seorang sahabat, yakni Abdullah Bin Umar radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.[4]

Dua syarat diterimanya ibadah diatas juga telah dijelaskan oleh para ‘ulama salafush shalih, diantaranya:

Imam Fudhail Bin Iyadh rahimahullah, beliau berkata: “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shalallahu ‘alaihi wa salam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab (sesuai sunnah). Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan showab apabila sesuai dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.”[5]

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah, beliau berkata: “Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak.”[6]

Beberapa Amalan Bid’ah di Bulan Ramadhan

Diantara beberapa bid’ah yang dianggap sunnah oleh sebagian besar kaum muslimin di Indonesia saat ini, yaitu:

1.      Sengaja Membangunkan Orang Sahur dengan Teriakan atau Nyanyian

Yakni membangunkan orang untuk sahur dengan berteriak: “Sahur… Sahur…”. Perbuatan seperti ini tidak ada contohnya di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dan tidak pula diperintahkan oleh beliau. Dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in.

Di Mesir, para muadzin menyerukan lewat menara masjid: “Sahur… Sahur… Makan… Minum…”, kemudian mereka membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berspuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”[7]

Di negeri Syam (Yordania, Palestina) lebih parah lagi, mereka membangunkan sahur dengan membunyikan alat musik, bernyanyi, menari dan bermain.

Tidak ketinggalan di Indonesia, berbagai macam cara dilakukan oleh orang-orang awam. Ada yang keliling kampung sambil teriak-teriak: “Sahur… Sahur…” Di sebagian daerah dengan membunyikan musik lewat mikrofon masjid atau dengan membunyikan tape dan membawanya keliling kampung, ada yang membunyikan mercon atau meriam bambu, dan lain sebagainya. Semua itu adalah perbuatan bid’ah.

Syaikh Abdul Qodir Al-Jazairi rahimahullah, beliau berkata: “Apa yang dilakukan oleh sebagian orang jahil (bodoh) pada zaman sekarang di negeri kita (Al-Jazair, termasuk juga di Indonesia, ed) berupa membangunkan orang puasa dengan kentongan merupakan kebid’ahan dan kemungkaran yang seharusnya dilarang dan diingatkan oleh orang-orang yang berilmu.”[8]

2.      Imsak

Ini adalah bid’ah yang diada-adakan oleh sebagai masyarakat kita yang kurang mengenal sunnah yang shahih. Mereka menganggap bahwa ketika ada bunyi atau teriakan imsak, maka semuanya harus berhenti makan dan minum. Bahkan lebih parah lagi jika ada yang menganggap jika setelah imsak masih makan atau minum, maka puasanya batal. Hal ini adalah sebuah kekeliruan, karena perbuatan yang benar yaitu berhenti sekitar (lama waktunya) ketika dibacakan 50 ayat dari Al-Qur’an.

Sahabat Anas meriwayatkan dari Zaid bin Sabit radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

“Kami makan sahur bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam kemudian beliau shalat. Maka kata Anas, “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?”, Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca ayat al-Qur’an.”[9]

3.      Melafadzkan Niat Puasa

Hal ini adalah perbuatan bid’ah, yang kebanyakan masyarakat kita melafadzkan niat: “Nawaitu shauma ghadin, dst…” Niat yang benar ketika akan puasa ramadhan yaitu meniatkan pada malam sebelumnya tanpa dilafadzkan, karena niat itu tempatnya di hati, bukan di bibir.

Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafi rahimahullah: “Tak seorangpun dari imam yang empat, baik Imam Syafi’i rahimahullah maupun lainnya yang mensyaratkan harus melafadzkan niat, karena niat itu di dalam hati dengan kesepakatan mereka.”[10]

4.      Menunda adzan maghrib dengan niat untuk kehati-hatian

Hal ini bertolak belakang dan menyelisihi sunnah Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”[11]

Penutup dan Kesimpulan

Demikianlah pembahasan kita kali ini, mungkin hanya empat jenis bid’ah saja yang dijelaskan disini, walaupun bid’ah-bid’ah lainnya yang tersebar dikalangan masyarakat sungguh banyak sekali. Insya Allah dilanjutkan pada pembahasan selanjutnya. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat, dan semoga amalan kita bisa berbekal dengan keikhlasan dan ilmu tentang sunnah yang dapat menjadikan kita nikmat dalam menegakkan sunnah dan juga termasuk orang-orang yang diampuni dosa-dosanya setelah menjalani bulan Ramadhan kali ini.
Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.”[12]

Wallahu ‘alam bis shawab.
Penulis: Ahdan Ramdani (Abu Abdillah Al-Atsary)
29 Sya’ban 1432 H / 31 Juli 2011 M

Hal-hal yang perlu di ketahui Tentang Ramadhan

Hal-hal Yang Perlu Diketahui Tentang Ramadhan

Allah mensyari'atkan shaum dan berbagai ibadah Ramadhan sebagai salah satu program yang harus dilewati setiap Muslim dan Mukmin dalam pembentukan karakter taqwa meraka.
Serial Manajemen Ramadhan Rasulullah saw.
Oleh: Fathuddin Ja'far, MA

Sebelum menjalankan ibadah Ramadhan, ada beberaa hal yang perlu dipahami. Di antaranya :
1. Shaum Ramadhan adalah rukun Islam yang keempat. Hukumnya adalah fardhu (wajib) yang datang langsung dari Tuhan Pencipta, Allah Ta'ala.
2. Allah mensyari'atkan shaum dan berbagai ibadah Ramadhan sebagai salah satu program yang harus dilewati setiap Muslim dan Mukmin dalam pembentukan karakter taqwa meraka. (Q.S. Al-Baqoroh : 183).
3. Ancaman keras bagi orang-orang beriman yang tidak melaksanakan ibadah Ramadhan, khususnya ibadah shaum seperti yang dijelaskan Rasul Saw : Ikatan dan basis agama Islam itu ada tiga. Siapa yang meniggalkan salah satu darinya, maka ia telah kafir; halal darahnya : Syahadat Laa ilaaha illallah, sholat fardhu (5 X sehari) dan shaum Ramadhan. (H.R. Abu Ya'la dan Dailami). Dalam hadiits lain Rasul Saw. bersabda : Siapa berbuka satu hari dalam bulan Ramadhan tanpa ada ruhkshah (faktor yang membolehkan berbuka / dispensasi) dari Allah, maka tidak akan tergantikan kendati ia melaksanakan shaum sepanjang masa. (H.R. Abu Daud, Ibnu Majad dan Turmuzi).
4. Ramadhan memiliki aturan main yang perlu ditaati, agar proses dan pelaksanaan ibadahnya, khususnya shaum Ramadhan dapat berjalan dengan baik dan maksimal. Paling tidak ada sembilan hal terkait aturan main yang perlu diketahui sebelum kita melaksanakan ibadah shaum Ramadhan :
4.1. Macam-Macam Shaum
Shaum terbagi menjadi dua macam :
A. Shaum fardhu (wajib).
B. Shaum Tathowwu' (puasa sunnah).
A. Adapun shaum wajib terbagi tiga :
Pertama, shaum Ramadhan, yakni shaum yang dilaksanakan selama bulan Ramadhan (29 / 30 hari) seperti yang dijelaskan Allah dalam Al-qur'an surat Al-Baqoroh : 183.
Kedua, Shaum Kafarat (Puasa Denda), yakni shaum yang wajib dilakukan sebagai denda dari pelanggaran hukum seperti pelanggaran dalam ibadah haji, membunuh tidak sengaja, melanggar sumpah dan sebagainya.
Ketiga adalah shaum Nazar, yaitu jika seseorang bernazar dengan shaum bagi perkara yang dinazarkannya seperti jika ia sembuh dari penyakit, jika bisnisnya goal dan sebagainya maka ia bernazar untuk shaum. Shaum seperti itu disebut dengan shaum nazar dan wajib hukumnya.
B. Adapun shaum tathowwu' (Puasa Sunnah) adalah :
1. Shaum 6 hari di bulan Syawal. Dalam hadits Rasul Saw. dijelaskan : Siapa yang shaum Ramadhan kemudian dia teruskan dengan 6 hari di bulan Syawal, seakan ia shaum sepanjang masa (tahun). (H.R. Al-Jama'ah kecuali Bukhari dan Nasa'i)
2. Shaum hari Arofah bagi yang tidak menunaikan ibadah haji. Dalm hadiits dijelaskan : Shaum hari Arofah (9 Zul hijha) menghapuskan dosa dua tahun, setahun sebelum dan setahun sesudahnya... (H.R Al Jama'ah kecuali Bukhari dan Nasa'i).
3. Shaum hari ‘Asyura (10 bulan Muharrom). Dalam hadiits Rasul Saw. dijelaskan : Shaum pada hari ‘Arofah (9 Zulhijjah) menghapus dosa dua tahun; yang lalu dan yang akan datang. Dan shau hari Asyuro (10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lalu. (HR. Riwayat Al-Jama'ah kecuali Bukhari dan Turmizi). Terkait shaum ‘Asyura, Rasul Saw. menyarankan agar ditambah sehari sebelumnya agar tidak sama dengan Yahudi, karena mereka juga puasa pada hari ‘Asyura.
4. Shaum diperbanyak di bulan Sya'ban. Dari A'isyah radhiyalllu ‘anha dia berkata : Aku tidak melihat Rasul Saw. menyempurnakan shaumnya kecuali di bulan Ramadhan saja, dan aku tidak melihat banyak berpuasa di bulan selain Ramadhan kecuali di bulan Sya'ban. (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Shaum Ayyamul bidh (tgl 13, 14 & 15 setiap bulan Hijriyah. Dari Abu Zar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : Kami diperintah Rasul Saw untuk shaum dalam sebulan tiga hari; 13, 14 dan 15. Lalu Rasul berkata : Yang demikian itu sama dengan shaum sepanjang masa. (HR. Nasa'i)
6. Shaum hari Senin dan Kamis. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Rasul Saw paling banyak shaum pada hari Senin dan Kamis. Lalu Beliau ditanya kenapa. Beliau menjawab : Sesungguhnya semua amal diangkat (ke langit) setiap hari Senin dan Kamis. Maka Allah akan mengampunkan setiap Muslim atau setiap Mukmin kecuali dua orang yang sedang berbantah, maka Allah berkata : Tangguhkan keduanya. (HR. Ahmad).
7. Shaum Nabi Daud; shaum satu hari dan berbuka hari berikutnya dan begitu seterusnya. Dari Abdullah Bin Umar dia berkata : Berkata Rasul Saw. : Shaum yang paling dicintai Allah adalah shaum Daud, dan shalat (malam) yang paling dicintai Allah adalah shalat Daud; dia tidur setengahnya, berdiri shalat sepertiganya dan kemudian tidur lagi seperenamnya, dia juga shaum satu hari dan berbuka satu hari. (HR. Muslim)
8. Shaum tathowwu' (sunnah) dibolehkan berbuka, khususnya jika ada penyebabnya seperti diundang makan. Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Saya menyiapkan makanan untuk Rasul Saw. maka Beliau datang dengan beberapa Sahabatnya. Ketika makanan dihidangkan salah seorang di antara mereka berkata : Sesungguhnya saya sedang shaum. Lalu Rasul berkata : Saudaramu telah mengundangmu dan telah bersusah payah untukmu. Kemudian Beliau bersabda : Berbukalah dan shaumlah di hari lain sebagai gantinya jika kamu mau. (HR. Baihaqi).
4.2. Hukum Shaum Ramadhan
Shaum Ramadhan hukumnya wajib atas setiap Muslim dan Muslimah yang sehat akalnya (tidak gila) dan telah mukallaf (umur remaja), tidak dalam keadaan musafir dan sakit. Khusus bagi wanita, tidak dalam keadaan haidh dan nifas. Tentang wajibnya shaum, Allah menjelaskannya dalam surat Al-baqoroh : 183 : Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu sekalian shaum itu (shaum Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa. Dalam sebuah hadits dijelaskan, Rasul Saw. bersabda : Sesungguhnya Islam itu dibangun di atas lima (dasar). Kesaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan dan menunaikan haji. (HR. Muslim)
Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. mewanti wanti umatnya agar sekali-kali jangan meninggalkan shaum Ramadhan tanpa alasan yang dibolehkan. Dalam salah satu haditsnya, Rasul Saw. bersabda : Ikatan dan kaedah agama Islam itu ada tiga. Diatasnya dibangun Islam. Siapa meninggalkan salah satu darinya maka ia kafir, halal darahnya (karena sudah dihukumkan kepada orang murtad), syahadat La ilaaha illallah, sholat yang difardhukan dan shaum Ramadhan. (H.R Abu Ya'la dan Dailami)
4.3. Rukun Shaum
Setiap ibadah dalam Islam ada rukunnya agar ibadah itu bisa tegak dan berjalan dengan benar. Demikian juga dengan shaum Ramadhan. Rukunnya ada dua :
1. Niat. Niat adalah faktor pertama yang akan menentukan sah atau tidaknya ibadah seseorang seperti yang dijelaskan Rasul Saw. Sesungguhnya (sahnya) setiap amal itu tergantung adanya niat (bagi setiap amal tersebut). Dan sesungguhnya setiap orang (akan memperoleh) sesuai apa yang diniatkannya. Siapa yang berhijrah karena kepentingan dunia yang akan dia peroleh atau wanita yang akan dinikahinya, maka dia akan memperoleh apa yang diniatkannya. (HR. Islam). Setiap amal ibadah, baik wajib maupun yang sunnah akan bernilai di mata Allah jika didasari dengan niat. Niatnya harus hanya karena Allah, tidak melenceng sedikitpun. Kemudian itu letaknya dalam hati, bukan dilafazkan (diucapkan dengan lisan), termasuk niat shaum Ramadhan harus dilakukan dalam hati. Waktunya sebelum terbit fajar.
2. Menahan diri dari hal-hal yang membantalkan shaum sejak terbit fajar sampai mata hari tenggelam. (QS. Al-Baqoroh : 187).
4.4. Hal-Hal Yang membatalkan Shaum
Semua ibadah dalam Islam memerlukan syarat dan rukun agar ibadah tersebut sah dan bernilai di sisi Allah. Amal ibadah yang sudah sesuai syarat dan rukun tersebut bisa batal jika melanggar aturan mainnya atau terjadi hal-hal yang membatalkannya. Adapun yang membatalkan shaum terbagi dua. Pertama hal-hal yang membatalkan shaum dan wajib diqadha (diganti di hari-hari setelah Ramadhan). Kedua adalah yang membatalkan shaum dan wajib qadha dan kafarat (denda).
Adapun yang membatalkan shaum dan wajib qadha saja ialah:
1. Makan dan minun dengan sengaja. Rasul Saw. bersabda : Siapa yang berbuka (makan dan minum) di siang hari bulan Ramadhan karena lupa maka tidak perlu diqadha (diganti pada hari di luar Ramadhan), dan tidak pula kafarat (denda). (HR. Daru Quthni, Baihaqi dan Hakim).
2. Muntah dengan sengaja. Rasul Saw. berkata : Siapa yang terpaksa muntah maka tidak wajib baginya mengqadha (shaumnya). Namun siapa muntah dengan sengaja, maka hendaklah ia mengqadha (shaumnya). (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi)
3. Haidh/menstruasi dan nifas (melahirkan), kendati terjadi sesaat sebelum berbuka. Ini yang disepakati oleh jumhur Ulama
4. Mengeluakan sperma dengan sengaja baik dengan cara onani/masturbasi ataupun dengan berbuat mesum dengan istri.
5. Memakan apa saja yang bukan yang lazim di makan, seperti plastik dan sebagainya.
6. Yang berniat membatalkan shaumnya di siang hari. Dengan demikian dia sudah batal shaumnya kendati dia tidak makan atau minum.
7. Jika dia makan, minum atau bercampur suami istri menduga waktu berbuka sudah masuk. Ternyata belum masuk. Dia wajib mengqadhanya.
Adapun yang membatalkan shaum dan harus diqadha dan kafarat menurut jumhur Ulama adalah berhubungan suami istri dengan sengaja. Tidak ada perbedaan antara suami dan istri, keduanya harus menjalankannya. Adapun kafarat bagi yang berhubungan suami istri ialah memerdekakan budak. Jika tidak sanggup, shaum 2 bulan berturut-turut. Jika tidak mampu memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang, seperti yang dijelaskan dalam salah satu hadits Rasul Saw. yang diriwayatkan imam Bukhari.
4.5. Adab Melaksanakan Shaum
Sebagaimana semua ajaran Islam itu ada adab atau kode etiknya, maka shaum juga ada adabnya. Di antaranya :
1. Sahur (Makan Sahur). Bersabda Rasul Saw. : Bersahurlah kamu sekalian karena sahur itu ada berkahnya. (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur itu dari pertengahan malam sampai terbit fajar (saat waktu shalat subuh masuk). Tetapi diperlambat sampai mendekati terbit fajar lebihdianjurkan.
2. Menyegerakan berbuka, yakni setelah tau waktu maghrib / tenggelam matahari maka segeralah berbuka. Bersabda Rasul Saw. : Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Berdoa waktu berbuka dan sepanjang melaksanakan shaum. Dari Abdullah Bin Amr Bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Saw. berkata : Sesungguhnya bagi orang yang sedang shaum saat berbuka doanya tidak ditolak. (HR. Ibnu Majah) Dalam hadits lain Rasul bersabda : Ada tiga do'a yang tidak akan ditolak Allah; orang yang shaum sampai dia berbuka, imam (pemimpin) yang adil dan oang yang tezhalimi (teraniaya). (HR. Tirmizi).
Adapun doa saat berbuka ialah :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Telah hilang haus dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahala insyaa Allah. (HR. Tirmizi)
4. Menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan shaum (menahan diri dari berbagai dorongan syahwat yang halal dan yang haram), karena shaum adalah salah satu cara taqarrub pada Allah yang amat mahal. Sebab itu tidak sepantasnya shaum itu hanya sekedar menahan lapar dan haus saja, akan tetapi menahan semua apa saja yang akan mencederai nilai-nilai mulia yang ada dalam shaum. (Dalam sub tema : Kunci Sukses Training Manajemen Syahwat Ramadhan akan dijelaskan secara rinci)
5. Bersiwak dengan kayu arak atau benda lain yang menyucikan mulut seperti sikat gigi.
6. Berjiwa dermawan dan mempelajari Al-Qur'an. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Adalah Rasul Saw. orang yang paling dermawan. Namun, di bulan Ramadhan lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Beliu liqo (bertemu) Jibril setiap malam dari bulan Ramadhan, maka Beliau belajar Al-Qur'an dari Jibril. Maka Rasul Saw. dalam kedermawanannya lebih cepat dari angin kencang. (HR. Bukhari)
7. Bersungguh-Sungguh Beribadah Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan. Dari A'isyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwa Nabi Saw. apabila masuk 10 hari terakhir Ramadhan Beliau menghidupkan sepanjang malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. (HR. Bukhari)
 
4.6. Siapa Saja yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Membayar
Fidyah (Denda)?
Kendati shaum itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang berakal dan sudah baligh (remaja), tetapi Allah memberikan keringanan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kategori berikut :
a. Orang-orang yang sudah tua Bangka.
b. Orang-orang sakit yang kecil kemungkinan dapat sembuh.
c. Para pekerja keras di pelabuhan, bangunan dan sebagainya yang tidak punya sumber kehidupan lain selain pekerjaan tersebut. Syaratnya ialah jika mereka shaum mereka akan mengalami kesulitan atau beban fisik yang sangat kuat sehingga menyulitkan mereka melaksankan pekerjaan. Namun bagi yang kuat, maka shaum lebih baik.
Ketiga golongan / kategori tersebut mendapatkan dispensasi untuk tidak shaum di bulan Ramadhan. Akan tetapi, mereka wajib membayar fidyah (denda) sebanyak satu liter makanan / beras untuk setiap hari shaum yang ditinggalkan. Makanan / beras tersebut diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.
d. Terkait wanita hamil dan menyusui, menurut imam Ahmad dan Syafi'i, jika mereka shaum itu berefek buruk terhadap janin dan anak mereka saja, maka mereka dapat dispensasi tidak shaum, tapi mereka harus mengqadha'nya serta membayar fidyah. Namun, jika shaum itu hanya berimplikasi negative terhadap diri mereka saja atau terhadap anak mereka saja, maka mereka hanya wajib mengqadha'nya. Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pengaruh negative tersebut haruslah berdasarkan pendapat ahli kesehatan yang amanah secara keilmuan dan ketaqwaannya.
4.7. Siapa Saja Yang Dapat Dispensasi Berbuka, Tapi Wajib Qadha' (menggantinya di hari lain)?
Adapun golongan yang mendapat dispensasi shaum akan tetapi mereka harus membayar / mengqadha' pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan ialah orang yang sakit dan tidak kuat untuk menunaikan shaum dan juga yang sedang musafir/ perjalanan untuk berperang di jalan Allah, berdagang dan berbagai keperluan lain yang bersifat primer, bukan sekunder seperti perjalanan wisata dan sebagainya. Dalam sebuah hadits dijelaskan : Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : Dulu kami berperang bersama Rasul Saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang shaum dan ada yang berbuka. Bagi yang shaum tidak mempengaruhi yang berbuka dan bagi yang berbuka tidak mempengaruhi yang shaum. Kemudian bagi yang melihat dirinya kuat menjalankan shaum dia lakuakn dan itulah yang terbaik baginya dan bagi yang merasa dirinya lemah, maka ia berbuka, itulah yang terbaik baginya. (HR. Ahamd dan Muslim)
4.8. Siapa Saja yang Wajib Berbuka dan Wajib Qadha' atasnya?
Di samping dua kondisi di atas ada lagi kondisi lain terkait shaum Ramadhan, yakni orang-orang yang wajib berbuka dan wajib qadha'. Mereka adalah wanita Muslimah yang sedang menstruasi / haidh dan melahirkan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : Kami saat haidh di masa Rasul Saw diperintahkan untuk mengqadha' shaum dan tidak diperintahkan mengqadha; shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
4.9. Hari-Hari Yang Dilarang Shaum Ramadahan adalah waktu termahal dalam hidup kita yang datang setiap tahun tanpa diundang.
Kendati shaum itu adalah ibadah yang disyari'atkan Allah di bulan Ramadhan dan di hari-hari lain di luar Ramadhan seperti yang dijelaskan pada pembahasan Shaum Tathowwu' (Shaum Sunnah) dan sudah terbukti shaum itu memiliki keistimewaan dan efek positif dalam segala sisi kehidupan kita. Namun demikian, sesuai aturan main Allah, terdapat hari-hari dan kondisi yang dilarang (diharamkan) shaum, seperti :
a. Diharamkan shaum pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri (tanggal satu Syawal) dan Idul Adha ( tanggal 10 Zulhijjah). Terkait dengan haramnya shaum pada kedua hari raya tersebut seharusnya membuat kita sangat berhati-hati dan tidak menyepelekannya. Aneh tapi nyata,di Indonesia ini selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun ada yang lebih ajaib lagi ialah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menjaga kesatuan umat yang hukumnya wajib lebih penting dari sholat idul fitri dan idul Adha yang hukumnya sunnah. Sebab itu, boleh sholat Idnya pada hari berikutnya demi menjaga persatuan umat. Ini jelas-jelas pendapat yang ngawur, lemah dan tidak beralasan disebabkan :
1. Terkait dengan Idul Fitri dan Idul Adha terdapat dua hukum yang berbeda. Pertama, haram/larangan ibadah shaum pada kedua hari raya tersebut menurut Rasulullah Saw. seperti tercantum dalam hadits riwayat Ahmad : Dari Umar Ibnul Khattab dia berkata: Sesungguhnya Rasul Saw. melarang shaum pada dua hari ini (Idul Fitri dan Idul Adha). Adapun hari Fitri yaitu hari berbukanya kamu dari shaummu. Adapun hari Adha maka makanlah (pada hari itu) sebagian daging kurbanmu. (H.R. Ahmad). Kedua, adalah melaksanakan ibadah sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta semua ibadah yang lain harus sesuai sunnah /contoh/ perintah Rasul Saw. Dalil Al-Qur'an dan Sunnah sangat banyak menjelaskan hal tersebut.
Dua hal yang berbeda, yang satu haram beribadah shaum dan yang satu lagi tuntutan melaksanakan ibadah shalat id, namun pada hari yang sama dan tidak dapat dipisahkan, kecuali dengan dalil yang diperbolehkan Rasul Saw. seperti tidak mengetahui jatuhnya tanggal satu syawal atau 10 Zulhijjah. Sebab itu, tidak ada kaitan keduanya dengan keharusan menjaga kesatuan umat.
2. Bagi yang mengetahui jatuhnya satu syawal dan 10 Zulhijjah, namun dia tetap shaum maka ia berdosa besar karena melanggar hukum/ketentuan Allah dan RasulNya. Berarti dia melakukan maksiat pada Allah dan RasulNya. Demikian juga bagi yang megetahui jatuhnya satu syawal atau 10 Zulhijjah, namun dia melaksanakan sholat Idnya pada tanggal / hari berikutnya, tanpa dalil syar'i, maka dia melakukan dosa dan bid'ah, alias melaksanakan ibadah keluar dari sunnah Rasul Saw.
3. Kendati kedua sholah Id tersebut secara fiqih hukumnya sunnah, bukan berarti kita bisa melakukan semau kita dan berdasarkan akal-akalan kita. Semua ibadah baik fardhu maupun yang sunnah wajib dilaksanakan didasari ikhlas ta'abbudiyah (ikhlas beribadah kepada Alllah). Untuk mencapai ikhlas ta'abbudiyah tersebut mengharuskan kita untuk melaksanakannya sesuai aturan main yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik tata caranya maupun waktunya. Waktu sholat Idul Fitri adalah tanggal satu Syawal dan Idul Adha adalah tanggal 10 Zulhijjah setelah hari ‘Arofah, kecuali jika kita tidak tahu. Kalau dilakukan dengan cara atau hari yang tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul Saw. berarti kita melakukan bid'ah dalam perkara ini. Hukumnnya jelas setiap bid'ah itu adalah kesesatan.
4. Kalimat menjaga kesatuan umat itu adalah akal-akalan yang tidak didukung dalil dan fakta yang kuat. Bersatu di atas pelanggaran hukum/aturan main Allah dan Sunnah Rasul Saw. baik fardhu maupun sunnah adalah maksiat dan kemungkaran besar. Toleransi pada ibadah Sunnah itu terletak pada melaksanakannya atau tidak, bukan pada niat atau tata caranya. Ibadah sunnah memang tidak mutlak harus dilaksanakan, sebagai ibadah tambahan taqarrub ilallah yang akan menambah kekuatan eksistensinya di mata Allah sebagai hamba yang taat, mencintai dan bersyukur pada Allah. Namun demikian, bukan berarti boleh dilaksanakan sesuai keinginan dan situasi yang kita inginkan.
5. Allah menyuruh kaum Muslimin menjaga kesatuan itu harus didasari berpegang teguh pada Allah dan agama-Nya, bukan akal dan pikiran kita yang picik dan mengada-ada, apalagi jika ada udang di balik batunya, seperti yang Allah jelaskan dalam surat Ali Imran : 103, Annisa' : 146 & 175 dan Al-Haj : 78. Jika kesatuan umat ini dibangun di atas dasar pelanggaran agama Allah, maka kesatuan tersebut berarti kesatuan di atas dasar kesesatan dan murka Allah. Lalu, apa bedanya dengan orang-orang kafir yang bersatu di atas dasar agama/aturan main/ hidup yang tidak diridhai Allah? Apakah dengan kesatuan tersebut Allah merahmati mereka dan memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya. Tentu jawabannya sebaliknya. Allah tetap murka pada mereka di dunia dan terlebih lagi di akhirat, kecuali jika mereka kembali kepada agama Allah saat mereka hidup di dunia ini dengan ikhlas dan maksimal.
b. Pada Hari-Hari Tasyriq, yakni tanggal 11- 13 Zulhijjah. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasul Saw. mengutus Abdullah Bin Huzafah berkeliling di Mina sambil berrkata : Jangan kalian shaum pada hari-hari ini (11 - 13 Zulhijjah), karena sesungguhnya ini adalah hari-hari kalian makan, minum dan zikrullah ‘Azaa Wajallah. (HR. Ahmad).
c. Shaum pada hari Jumat saja. Dari Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul Saw. berkunjung ke Juwairiyah Binti Harits yang sedang shaum pada hari Jumat itu. Lalu Rasul Saw. bertanya padanya : Apakah kamu shaum kemarin? Dia menjawab : Tidak. Rasul Saw. beratanya lagi : Apakah kamu berniat shaum besok? Dia menjawab : Tidak. Lalu Rasul bersabda : Maka berbukalah (batalkanlah) shaummu. (HR. Ahmad dan Nasa'i).
d. Mengkhususkan shaum pada hari Sabtu. Rasul Saw. bersabda : Janganlah kalian shaum pada hari Sabtu, kecuali memang hari itu bertepatan dengan Shaum wajib (Shaum Ramadhan, nazar dan tanggal yang disunahkan shaum seperti Arofah dan sebagainya). Jika kalian tidak punya makanan kecuali kulit anggur atau daun kayu maka kunyah/makanlah. (HR. Ahmad)
e. Pada hari syak (ragu) juga diharamkan shaum. Hari Syak ialah hari di mana kita ragu apakah sudah masuk awal Ramadhan atau belum. Larangan tersebut erat kaitannya dengan keharusan untuk komitmen dengan aturan main ibadah yang telah ditetapkan Allah, ternasuk shaum Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk mengetahui secara pasti awal Ramadhan. Jika ragu apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum, Rasul Saw. melarang kita shaum pada hari tersebut. Demikian juga halnya dengan larangan shaum pada hari raya Idul Fitr dan Idul Adha.
Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Siapa yang shaum pada hari syak, maka dia telah durhaka pada Abul Qashim (Muhammad Saw). Dalam hadits lain Rasul Saw. bersabda : Jangan kalian mendahulukan shaum Ramadhan satu atau dua hari sebelumnya kecuali jika ada yang mengharuskan kamu shaum (seperti shaum nazar dan sebagainya). (HR. Al-Jama'ah). Imam Tirmizi berpendapat dilarang seseorang shaum Ramadhan sebelum masuk waktunya, karena namanya saja shaum Ramadhan, maka harus terikat dengan nama bulannya, yakni di bulan Ramadhan.
f. Diharamkan shaum sunnah bagi wanita yang suaminya ada di rumah kecuali atas izin suaminya. Janganlah wanita shaum satu hari pun sedangkan suaminya berada di rumah kecuali atas izinnya dan (kecuali) shaum Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
g. Dilarang shaum wishal (terus menerus). Dalam sebuah hadits Rasul Saw. bersabda : Sekali-kali jangan kamu melakukan shaum wishal. Beliau katakan sampai tiga kali. Lalu mereka (Sahabat) berkata : Bukankah engkau melakukannnya wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Kamu sekalian bukanlah seperti aku dalam hal tersebut. Aku tidak ingin (tidak mungkin) Rabb (Tuhan Pencipta)-ku tidak memberi makan dan minum padaku. Maka kerjakan amal ibadah sesuai kemampuan kalian. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika di antara kita hendak mendekatkan dirinya pada Allah secara intensif melalui ibadah shaum sebanyak-banyaknya sepanjang tahun, lakukanlah shaum Daud seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan Shaum Tathowwu' (Sunnah).